Oleh : Arif Wibowo
(Arsitek/Pemuda Adat/Kordinator Riset BPAN)
Sudah dua periode ini saya bersama kawan2 muda di Olehsari terlibat langsung dalam sebuah perhelatan ritual tahunan Tradisi Seblang. Pelaksanaan tahun 2018 ini kami juga dipercaya kembali oleh Kepala desa untuk menjadi panitia penyelenggara yang sudah dibentuk beberapa minggu lalu. Perlu diketahui, panitia disini berperan dalam melaksanakan hal-hal yang bersifat di luar ritual, menjadi semacam “fasilitator” atas fasilitas yang disediakan desa. Dalam hal ini menyalurkan dana fasilitas penyelenggaraan ritual yang hampir 90% bersumber dari dana desa. Sedangkan sisanya, masyarakat bergotong royong dengan iuran seikhlasnya dengan petugas khusus berkeliling desa membawa kotak. Dalam istilah lokal menyebutnya “mupu” yang digunakan untuk ritual yang sangat substansial yaitu selametan Seblang. Sedangkan dana yang dianggarkan pemerintah desa digunakan untuk honor pelaku adat, perlengkapan panggung, kostum, dll selama 7 hari. Pemerintah desa beralasan mempercayakan golongan muda dalam hal ini karang taruna sebagai panitia yg berfungsi sebagai “fasilitator” karena dinilai cukup kooperatif dalam hal urusan tertib administrasi. Pemerintah desa tak mau menganggung resiko atas kesalahan administrasi.
Saya dan kawan-kawan muda lain tentu banyak bersinggungan langsung dg pelaku-pelaku adat Seblang. Saya pun merasakanĀ bagaimana kondisi kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai pemegang dan pelaku tradisi di tingkat akar rumput. Setidaknya ada beberapa hal kecenderungan perilaku masyarakat pelaku adat seblang di tingkat akar yang bisa saya amati.

Pertama, hari ini orientasi masyarakat terhadap ritual Seblang memiliki kecenderungan tidak lagi hanya sebatas memenuhi kebutuhan spiritual atas tuntutan ritus warisan leluhur. Di sisi lain ada kepentingan mengenai eksistensi dan motif ekonomi pelaku adat dalam ritual ini.
Kepentingan eksistensi beberapa individu dalam paguyuban pelaku adat Seblang ini ditandai dengan munculnya individu yang merasa dirinya memiliki trah paling kuat menjadi pemangku adat. Sikap ini tentu menimbulkan konflik horisontal antara pelaku adat Seblang. Misalanya meminggirkan peran tertentu beberapa individu pelaku adat yang sebelumnya diemban.

Kemudian kepentingan ekonomi, dimana pelaku adat Seblang saat ini cenderung menjadikan ritual ini sebagai ajang mencari uang tambahan. Memang pemerintah desa menganggarkan honor untuk setiap individu yang terlibat dalam ritual ini, mulai dariu penari seblang, pawang, sinden, dan panjaknya. Bahkan, ada juga kasus individu yg sebenarnya diluar lingkar keluarga paguyuban Seblang, kini masuk menjadi bagiannya. Kasus yang menarik, ketika ada ucapan salah satu pelaku adat, dimana Ia membandingkan materi yg didapat mengikuti kegiatan ritual ini dengan pekerjaan nya sehari-hari berdagang kacang hingga ke Bali. Tentu, kegiatan ritual ini mengorbankan kegiatan ekonominya. “Isun sedina dodol kacang ulih semene, kadung ana seblang isun ulih harian mung semene”, tutur salah satu pelaku ritual.
Saya dan kawan-kawan tentu menghadapi persoalan dilematis, di satu sisi berhasrat ingin menciptakan hubungan harmonis antar pelaku adat Seblang dengan berupaya tidak lagi mempersoalkan besaran honorium dan hal2 ekononomi-material lain, tapi di sisi lain harus menjalankan amanah menyampaikan honor itu sesuai dengan anggaran yang ada.
Perubahan Sikap dan Pandangan Pelaku Adat
Saya kadang larut dalam imajinasi membayangkan Ritual ini di masa lalu, ketika ritual ini benar-benar milik lingkar keluarga trah Seblang dimana masyarakat di luar itu “urun mupu” bergotong royong meringankan beban yang dipikul keluarga Seblang yang menjalankan langsung ritual ini. Tentu bagi warga Olehsari, mupuĀ tidak sebatas bergotong royong meringankan beban si keluarga yang menjalankan ritual, namun ada landasan spiritual yaitu agar berkah desanya. Ritual ya ritual, tidak menjadi menjadi komoditas tontonan yang miskin spirit.
