“Semua berubah ketika negara api menyerang”, kata ini sering kita temui dalam film avatar untuk menggambarkan begitu perubahan terjadi secara cepat. Ya, kadang semua berubah terlalu cepat bahkan kita belum sempat mempersiapkan segalanya. Jangankan menghalau pedang musuh, melawan diri sendiri saja kadang masih belum mampu. Kita tak jarang merasa tak berdaya dihadapan rasa malas, pesimis, dan minder.
Bicara tentang manusia, maka terdapat beberapa tipe manusia dalam hal menghadapi suatu persoalan. Pertama, manusia yang berfikir tanpa bertindak (Manusia Tipe I). Manusia tipe ini dicirikan dengan penguasaan teori yang berlimpah namun sayang hanya berhenti pada tataran konsep bukan tindakan. Beruntung jika konsepnya dapat dijalankan oleh orang lain dan berhasil. Namun jika tidak, maka konsep hanyalah konsep yang sebagus apapun tanpa aksi maka nihil. Manusia tipe I ketika diposisikan sebagai pemimpin, maka jadilah ia pemimpin yang otoriter. Sekali A maka harus A. Karena tak jarang manusia tipe ini menganggap bahwa ide atau gagasannyalah satu-satunya yang benar. Wajarlah demikian adanya, karena manusia tipe ini hanya belajar dari teori bukan praktik langsung. Manusia tipe ini harus benar-benar berkolaborasi dengan tim lapangan atau praktisi. Kemampuannya dalam menganalisa sesuatu dan penguasaannya dalam konsep akan menjadi solusi manakala suatu organisasi menemukan jalan buntu.
Kedua, manusia yang bertindak tanpa berfikir (Manusia Tipe II). Jika manusia tipe I sangat bagus dalam konsep dan teori, maka manusia tipe II ini berbanding terbalik. Ia bahkan nihil dalam segi penguasaan teori, tapi memaksakan untuk bertindak. Ya, walau tak selalu gagal, namun tidakan manusia tipe ini cenderung dianggap gegabah. Segala tindakannya diputuskan tanpa berfikir panjang. Implikasinya, manusia dengan kodrat semacam ini terlalu riskan jika hendak dijadikan pemimpin. Keputusannya nanti akan menimbulkan kontroversi. Namun, jika diarahkan oleh partner yang sesuai, maka bukan tidak mungkin manusia tipe ini akan menjadi pekerja keras dalam suatu organisasi atau komunitas. Daya juangnya sudah tidak bisa diragukan lagi. Keyakinannya akan sesuatu dan teguh pada prinsip menjadi ciri khas manusia macam ini. Menemukan titik dimana ia bisa diarahkan dengan baik dan benar merupakan suatu kewajiban.
Ketiga, manusia yang berfikir dan bertindak (Manusia Tipe III). Manusia tipe ini merupakan tipe yang ideal. Mampu ketika berada digarda depan dan bersinergi ketika ada didalam barisan. Keseimbangan antara konsep dan praktik menjadi nilai plus atau bahkan plusnya dobel. Tentu, manusia tipe ini cocok dijadikan percontohan untuk rekan-rekannya. Walaupun kita sadari tak semua manusia mampu berada dalam posisi ini. Disamping keseimbangan yang dimilikinya, manusia tipe ini sebenarnya menyimpan hal lain yang bisa jadi malah menghancurkan organisasi. “Merasa”, ya jika pada level yang akut, manusia tipe ini bahkan dapat menjelma menjadi manusia yang kadang merasa paling benar, merasa paling pintar. Hal-hal semacam ini yang sudah biasa terjadi dikalangan mereka yang berada diatas awan namun lupa bagaimana caranya membumi.
Keempat, manusia yang tidak berfikir dan tidak bertindak (Bukan Manusia). Jika manusia tipe I, II, dan III memiliki sisi-sisi positif dan negatif, maka berbeda lagi dengan yang keempat ini. Maaf, jika boleh saya sebut manusia tipe ini sebenarnya diragukan untuk disebut sebagai manusia. Seperti yang kita tahu, jika akal merupakan pembeda antara manusia dan makhluk lain ciptaanNya, maka menonaktifkan akal dan kemudian ditambah dengan nihil tindakan, apakah masih disebut manusia? Manusia itu kodratnya berfikir dan bertindak bung. Karena akal jika nonaktif itu berat, biar zombi saja. Bahkan zombi saja bertindak. Semoga kita bukan termasuk dalam kategori yang keempat ini. Kalaupun sudah masuk, walau terpaksa, maka berkacalah, masih manusia atau tidak? Khawatir sudah berubah, maka benar jika ada yang menyebut, hidup kalau hanya makan apa bedanya dengan sapi. Hidup kalau hanya bekerja maka apa bedanya dengan kerbau yang membajak sawah. Sisi-sisi manusia yang hilang akan membawa seseorang dalam hidup yang bukan semestinya hidup.
Bicara empat tipe manusia diatas, bukan tidak jarang ditemukan dalam suatu organisasi atau komunitas (kecuali tipe keempat). Lebih spesifik lagi dalam suatu komunitas dan dunia kerelawanan. Mereka yang berada di barisan relawan memiliki berbagai tipe dalam melakukan tindakan. Berbagai tipe tersebut tentu bukan kendala, perbedaan itu justru akan membuat komunitasmu berkembang. Tentu dengan catatan bahwa masing-masing individu menyadari akan adanya perbedaaan yang seharusnya tak perlu lagi mencari siapa yang benar/salah, siapa yang baik/tidak dan lainnya. Tipe-tipe manusia yang sudah disebutkan diatas tentu bersifat dinamis. Artinya, seseorang bisa saja berubah dari tipe I ke tipe II dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang selalu tumbuh dan berkembang. Bukankah manusia yang baik adalah yang hari ini lebih baik dari hari sebelumnya?
Memilih menjadi relawan, biasanya membawamu pada suatu kondisi dimana seseorang menghakimi dirinya sendiri. Maksudnya, biasanya diawal menjadi seorang relawan, maka tak jarang pertanyaan-pertanyaan seputar pantas tidaknya, memiliki potensi atau tidak, mampu/tidak. Pertanyaan inilah yang muncul sehingga kadang seseorang akan mundur sebelum berjuang. Dengan mengenali tipe-tipe manusia tadi, maka seharusnya kita lebih faham diri ini berada di kategori mana. Dengan demikian, kita tak perlu risau tentang diri sendiri. Karena apapun tipemu, dunia kerelawanan merupakan dunia tempat belajar sebenarnya. Mengapa? Didunia kerelawananlah kamu bisa menemukan energi, ilmu, pengalaman yang mungkin tak pernah kau dapatkan sebelumnya. Dunia kerelawanan merupakan rel yang mampu memperceat seseorang untuk tumbuh, berkembang, matang secara mental dan kualitas. Tentu, ini semua akan menjadi omong kosong manakala kau sendiri belum merasakan bagaimana indahnya.
Diakhir tulisan ini, kami berharap, siapapun anda diluarsana, apapun kondisi, latar belakang, status, dan lainnya. Jangan ragu ketika memilih menjadi relawan. Apapun alasannya relawan tetap pilihan hidup yang benar. Mereka yang sudah berada pada dunia kerelawanan akan merasa bahwa menjadi relawan adalah puncak karir tertingginya. Gerakan kerelawanan merupakan gerakan mulia. Bertajuk “Nol Rupiah” dalam setiap tindakannya menjadikan relawan tak bernilai. Tidak Bernilai sampai uangpun tak mampu jika hendak digunakan untuk membeli mereka. Bukan tak butuh uang, tapi tak semua gerakan menjadikan uang segala-galanya.
___________________________________________
Dosen, Pengelola Rumah Baca Arkara, dan pengurus rumah literasi indonesia
Comments are closed