“…memberi orang uang tidak memecahkan masalah keuangan mereka…..hal itu akan memperpanjang masalah dan menciptakan banyak orang miskin”
(Robert T. Kiyosaki)
Tuhan memang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, termasuk potret kehidupan yang secara ekonomi dapat terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang beruntung. Mereka memiliki cukup uang untuk makan, membeli pakaian yang layak bahkan mewah, kesehatan dan pendidikan terjamin, dan aman secara finansial. Berbanding terbalik dengan kelompok kedua, mereka yang boleh dibilang kurang beruntung. Harus berjuang keras hanya demi bertahan hidup, tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, dan kurang aman finansial. Kelompok kedua inilah yang masuk dalam kategori “Miskin”.
Saat masa kampanye seperti saat ini, tak luput pengentasan kemiskinan menjadi tema jitu menggaet hati pemilih. Perubahan angka-angka statistik seolah menjadi sebuah prestasi yang membanggakan walau tak jarang berbeda dengan yang rakyat rasakan. Artinya, secara statistik mungkin kemiskinan akan berkurang misal lewat gelontoran dana bantuan. Faktanya, bantuan tak lantas membuat si miskin merubah nasibnya apalagi pola pikirnya.
Hingga saat ini definisi miskin memang terus diformulasikan. Ukuran untuk dapat dikategorikan “miskin” kian beragam dan generalisasi semakin sulit dilakukan. Apakah yang disebut miskin adalah mereka yang setiap hari ada dijalan untuk meminta belas kasihan? Atau mereka yang tinggal didaerah kumuh? Miskin yang dikonotasikan dan dilihat dari aspek ekonomi memang bukan ukuran final. Misalnya, disuatu daerah warganya memang tidak memiliki uang, hal ini dikarenakan makanan, pakaian, dan rumah yang mereka gunakan adalah hasil produksi sendiri, yang oleh Todaro dan Smith (2015) disebut sebagai subsistence economy. Lantas sebenarnya, apakah disebut miskin itu karena tidak memiliki cukup uang?
Mendefinisikan kemiskinan dan upaya mengurangingya memang sama-sama susah. Sebenarnya kurang tepat memberi label miskin ataupun kaya kepada individu sesuai dengan kondisinya ekonominya. Mengingat keadilan Tuhan, maka sebenarnya tidak ada miskin atau kaya, yang ada hanya mereka yang melek keuangan (well financial literacy) dan tidak. Tingkat literasi keuangan yang dimiliki seseorang tentu akan mempengaruhi manajemen keuangan pribadi/keluarganya dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk tujuan jangka panjang seperti berinvestasi, berpendidikan tinggi, persiapan usia non-produktif (masa pensiun). Kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan keuangannya disebut dengan personal finance. Kemampuan tersebut membantunya dalam mengalokasikan sumberdaya keuangannya secara efisien sekaligus meningkatkan stabilitas keuangannya baik pada level mikro maupun makro.
Jika kita sepakat bahwa istilah kaya dan miskin/kemiskinan dirubah menjadi melek (literate) dan buta (illiterate) keuangan, maka harusnya pengentasan mereka yang buta keuangan tentu bukan dengan cara memberi uang. Alih-alih dapat menjadikan mereka sejahtera, malah menambah masalah. Karena kemampuan mengelola keuangan mereka yang minim. Bagi mereka yang memiliki cukup modal tentu tak semua faham harus menginvestasikan modalnya kemana. Pun mereka yang kurang modal, tentu tak semuanya faham bagaimana memanfaatkan dan mengelola modal yang ada secara efisien. Untuk itu, peningkatan literasi keuangan diperlukan.
Menjadikan edukasi sebagai fondasi pembangunan tentu sejalan dengan lahirnya era ekonomi baru yang dikenal sebagai knowledge economic. Era baru perekonomian ini mengutamakan peran teknologi, sistem, dan kecepatan informasi sebagai penggerak utama (McGrattan dan Prescott, 2007). Artinya pengelolaan kualitas sumberdaya manusia menjadi keharusan sehingga pemanfaatan teknologi, sistem, dan informasi menjadi maksimal. Bagi perusahaan, era baru tersebut menjadikannya harus merubah paradigma tradisional yang hanya mengandalkan aset menjadi paradigma baru yang lebih mengutamakan pengelolaan human capital dengan memperhatikan peningkatan intellectual capital yang mengarah pada terciptanya sustainable competitive advance. Bagi pemerintah, era ekonomi baru tersebut harusnya mengubah pola peningkatan kesejahteraan rakyat yang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik dan bantuan tunai tapi juga mengutamakan pembangungan kualitas manusianya untuk lebih produktif.
Berdasarkan beberapa hasil telaah ilmiah, beberapa menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi dengan tingginya tingkat literasi keuangan. Namun, anehnya semakin tinggi tingkat sekolah seseorang justru tidak menjadi jaminan tingkat literasi keuangan yang baik. Secara umum, literasi keuangan dapat diukur melalui 2 kategori indeks, yaitu indeks literasi keuangan dasar (Basic financial Literacy Index) dan indeks literasi keuangan lanjutan (Advanced financial Literacy). Basic financial literacy index terdiri dari beberapa indikator, diantaranya pengetahuan masyarakat tentang persyaratan memiliki KTP, mengetahui jumlah minimum untuk membuka tabungan, menghitung bunga pinjaman, inflasi, diskon, time value of money. Sedang advanced financial literacy index terdiri dari beberapa indikator, diantaranya masyarakat mengetahui fungsi pasar modal, tingkat suku bunga, risiko obligasi dan saham, faham investasi mana yang menghasilkan return tinggi, investasi pada satu jenis atau diversifikasi. Jika dilakukan survey terhadap tingkat literasi keuangan masyarakat, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dikatakan memiliki literasi keuangan rendah jika indeks menunjukkan angka 60, dikatakan moderat jika indeks berada pada angka antara 60 – 80. Sedangkan dikatakan memiliki literasi keuangan tinggi jika indeks menunjukkan angka lebih dari 80.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan berkat kerjasama lembaga DEFINIT, SEADI, dan OJK pada tahun 2013, tingkat literasi keuangan dasar Indonesia berbeda bergantung pada tingkat pendidikan dan pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan maka literasi keuangan dasar akan semakin baik. Untuk literasi kuangan lanjutan, hasil survey menunjukkan bahwa Indonesia berada pada level rendah. Walaupun indeks literasi keuangan masih berkaitan dengan perbankan, namun hasil penelitian tersebut menjadi rambu dan warning bagi masyarakat Indonesia. Jika literasi keuangan masayarakat rendah, maka tidak heran berapapun dana bantuan tunai yang dikucurkan akan sia-sia. Jika literasi keuangan rendah, maka tidak heran jika banyak investasi bodong yang banyak membodohi masyarakat.
Lantas bagaimana merubahnya? Arus perubahan yang semakin cepat dan kapitalisme yang sudah mengakar mengharuskan tidak hanya mengandalkan pemerintah dalam segala hal. Tentu otonomi daerah sudah memberikan sinyal bahwa sentralisasi bahkan tak mampu dan harus berubah menjadi desentralisasi. Bagi akademisi sudah saatnya membumikan ilmu dan mengaplikasikannya dikehidupan. Jangan sampai hasil pemikiran hanya berakhir pada jurnal bereputasi yang justru dinikmati oranglain sementara tetangga kita butuh pemikiran-pemikiran yang inovatif dan solutif. Pun tak boleh pengentasan kemiskinan hanya berakhir diruang-ruang diskusi, seminar dan sejenisnya. Sudah saatnya bekerja sama. Bagi masyarakat, kesadaran akan pentingnya ilmu dan terus belajar merupakan modal utama dibanding hanya mengandalkan bantuan dana. Bagi pemerintah, pola pemberdayaan masyarakat terutama peningkatan pengetahuan pengelolaan keuangan dirasa lebih efektif. Walau butuh waktu, namun efeknya tentu lebih boombastis dibanding sekedar bagi-bagi uang. Kesimpulannya, bukan uang yang merubah si miskin jadi kaya, namun kemampuannya dalam mengelola keuangannlah yang bisa merubah semuanya.
Comments are closed