Semua hari pasti menyimpan cerita. Senin sampai Minggu yang tak surut memberikan keberkahan kepada umatnya. Cafe Simpang Telu, bukti awal perjalanan kami. Nama Cafe yang  memiliki makna jalan yang terdiri dari tiga arah berbeda. Sama dengan kami, tiga orang yang memiliki perbedaan tetapi sevisi dan semisi. Senin malam kami berkumpul. Saya, Saudara saya yang selalu loyal menemani saya, dan Kapten, seseorang yang terkenal dengan berbagai mimpinya. Rasa syukur yang tak ternilai bisa dikelilingi orang-orang seperti mereka, penuh ketulusan hati dalam melakukan kebaikan. Malam itulah yang memiliki sejarah bagi kami, khususnya saya yang berani mengambil satu langkah untuk maju melihat dunia.

Gelap tapi masih memberikan semangat. Bersinar tetapi tidak terlalu menyengat. Semilir angin juga tidak terlalu membuat menggigil, bahkan semakin memberikan kesan kenyamanan. Sebait pepatah yang setidaknya bisa mencerminkan hati saya pada saat itu. Berawal dengan hati gelap, tidak tahu mau seperti apa, tetapi alhamdulillah diberikan semangat yang luar biasa. Bersinar dengan tekad kuat, tapi masih ragu untuk memulainya. Akan tetapi , semuanya tetap bersikukuh berjalan karena ada orang-orang yang sepaham dan membuat rasa nyaman.

Malam itu, semuanya memberikan argumen tentang kisah tempat lahirnya. Kesana-kemari, maju terus tiada henti, bak jarum jam yang berdetak mengikuti arah waktunya. Selalu berputar, mengalir dan semakin berkobar mimpi untuk membangun tanah kelahiran. Belajar terus menerus, mendapatkan banyak pengalaman, ilmu dan kesan yang sangat luar biasa.

Mengenal, menggali potensi Desa, dan beraksi bagi saya merupakan pengalaman yang paling menantang, tapi seru. Dengan semuanya saya bisa belajar memahami kondisi dan situasi, karakter dan  ambisi. Dari berbagai hasil bercengkrama, ada satu hal yang membuat hati ini terketuk dengan ucapan Kapten. Pada saat itu saya bertanya dengan diri saya, dan juga pada mereka. “Kapan mau dijalankan visi ini?” dengan pesimisnya saya berkata seperti itu. Saya takut tidak bisa menghandle semuanya, karena masih ada tanggung jawab akademik yang harus diselesaikan. Kapten pun menjawab “Secepatnya!!!” dengan intonasi tinggi, penuh semangat menggebu. “Malam minggu besok kalau bisa harus dilakukan!”. Mendengar hal itu, saya hanya bisa menggigit jari dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepala saya. Tapi, bagi saya itu adalah sebuah tantangan, untuk seseorang yang ingin maju.  Maju mundur, bangkit tumbang, kuat lemah. Campur aduk seperti es buah rasanya. Hahahaha. Akan tetapi, sangat luar biasa malam itu. Saya seperti bertemu pahlawan kemalaman yang hadir menghampiri saya. Hehehe,, biasanya kalau pahlawan kesiangan, nah bagi saya nih, adanya pahlawan kemalaman. Karena malam itulah saya benar-benar tertolong dan menemukan jalan lurus untuk mencapai harapan saya.

Malam semakin larut, akhirnya kami memutuskan bergegas pulang. Disetiap jalan saya masih kepikiran dengan ucapan Kapten. Bisa tidaknya, mampu dan berhasil tidaknya, semakin membuat diri saya semangat memecahkan dan melakukan tantangan Kapten. Setiap hari selalu terbenak pada diri saya, bahwa saya bisa dan mampu melakukannya.

Tepat hari Kamis, bangun tidur, saya langsung bergegas mencatat konsep dan segala keperluan untuk memecahkan tantangan itu. Saya pun kok heran dengan perilaku saya, kok bisanya bangun tidur langsung membuat konsep. Ya…mungkin karena terlalu melekat dihati dan terbenak di pikiran saya, jadi spontan, dan kebawa tidur, hehehehe. Saat itu saya menghubungi semua relasi, teman-teman yang bisa di ajak sevisi dan semisi. Jangan tanya, penolakan dan diremehkan, wow,,,,sangat luar biasa serunya.

Berbagai relasi yang sudah saya hubungi, ada beberapa yang mau berpartisipasi,  8 orang yang mau bergabung dengan acara yang akan dilakukan. Karena masih banyak yang bekerja, akhirnya tersisa 3 orang yang bisa diajak bermusyawarah. Langkah apa dulu yang harus dilakukan? Harus kemana langkah ini dimulai? Banyak pertanyaan yang masih menjadi misteri. Kami bermusyawarah dan juga terima kasih sekali dengan Kapten yang selalu memberikan arahan dan motivasi.

Awal perjalanan ibadah ini, kami bertiga membahas konsep yang sudah saya buat. Setelah itu, menghubungi beberapa seniman, rumah ke rumah, berjalan menelusuri lorong sempit yang gelap gulita. Pertanyaan dan pandangan orang yang menganggap ada ada saja. Semua terdengar, sakit, ya ….cukup sakit, tapi tidak menggoyahkan semangat kami untuk tujuan ini.

Kamis malam kami bertiga pergi kerumah salah satu seniman, mengungkapkan apapun tujuan kami dan alhamdulillah diberikan kode positif. Kemudian, kami bertiga bertemu dengan promotor seniman Desa kami dengan anak buahnya di salah satu rumah warga. Awalnya saya takut berkumpul dengan mereka, karena saya perempuan sendiri yang dikelilingi beberapa lelaki. Takut semuanya, tapi saya harus berani dan niat terjun di dunia baru ini. Bagi saya, ini adalah perjalanan yang pertama kali menantang. Karena, dilihat dari pribadi saya sendiri yang dulu hanya bergaul dengan katakan orang-orang baik, sesuai peraturan dalam menjalani hidup, tetapi sekarang saya membuka bergaul dengan orang-orang yang bebas dengan peraturan. Berbagai sharing kami lakukan, ilmu, pengalaman dan sangat sangat membuat hati saya menangis mendengar cerita perjalanan mereka.

Berbagai perjalanan yang berawal dari komunitas kecil-kecilan, mewadahi warga masyarakat yang membutuhkan pekerjaan, dan meregenerasi bakat yang sudah terpedam kepada orang-orang sekitar. Cak Mis Tato, ia adalah promotor dari semua ini. Tahun 2000 beliau melangkahkan kaki, berjuang merangkul pemuda-pemudi desa untuk bergabung dalam satu wadah. 20 lebih orang bergabung, belajar menjadi seniman dan berbuah manis dengan karya diberbagai genre lukis. Naik turun, bangkit jatuh sudah mereka rasakan semua. Sangat terkejut dengan cerita beliau, karena ternyata banyak seniman berkualitas yang ada di Desa saya. Seperti mau membuat Soto tetapi tidak mengetahui segala bumbu yang diperlukannya. Itulah saya, yang tidak tahu apa-apa di Desa saya. Mereka itulah emas-emasnya Desa yang memiliki pengaruh besar untuk kemajuan Desa.

Ditengah perjalanan perjuangan mereka sempat terjadi vakum dalam hal memproduksi. Hal itu dikarenakan berkurangnya tingkat pemasaran seni, khususnya dalam hal lukisan. Modal yang tak sebanding dengan material yang dibutuhkan dan juga adanya pengaruh pemasaran luar negeri yang tak seperti dulu lagi. Mereka harus berfikir ulang harus bagaimana lagi untuk kedepannya. Para seniman Desa, selalu memasarkan hasil karyanya di Pulau Dewata. Pulau yang terkenal dengan orang asing yang merajalela. Sehingga peluang berbisnis pun cukup tinggi di Pulau tersebut, khusunya dalam hal seni, baik itu lukisan maupun kerajinan tas kulit hewan.

Beberapa jam kami lalui, mereka bercerita dari awal berdiri, proses hingga kevakuman yang terjadi. Sekarang sudah tidak ada lagi wadah, berjalan sendiri-sendiri dan mirisnya mereka sekarang tidak dihargai oleh masyarakat sekitar. Masyarakat sudah menganggap bahwa mereka adalah sampah masyarakat, tidak mentaati peraturan, dan tidak memiliki arti apa-apa. Membuat banyak kerugian dan tercemarnya nama baik Desa. Tidak dianggap, dicemoh dan dilecehkan, melihat pun tidak sudi, apalagi saling berbagi. Sekian amarah yang saya dengarkan, sekian harapan mereka yang kandas karena beberapa hambatan. Kurangnya saling menghargai, simpati dan empati, ambisi mencemoh yang hanya menjadi tradisi. Tidak ada dukungan  pemerintah, masyarakat yang tidak mau diajak berkembang, mereka yang ingin instan, tak pernah mengerti dan memahami arti kesabaran. Bagaimana ingin berkembang dan maju jika masyarakatnya saja sangat kaku, ego yang ditinggikan, terlalu banyak orang pintar tetapi tidak memaknai makna kepedulian. Semakin teriris dan terluka mendengar dan melihat kondisi sebenarnya. Dari situlah, saya dan teman-teman semakin yakin bahwa kami bisa membawa perubahan, perubahan lebih baik, menjadikan mereka layaknya emas yang bangkit dari dalamnya himpitan. Untuk mereka dan masyarakat desa tercinta.

Acara yang ingin kami lakukan  ialah pameran lukisan, yang mana setiap karya dari berbagai seniman desa di pamerkan. Desa saya, yaitu desa Bunder Krajan mempunyai kurang lebih ada 20 seniman yang memiliki berbagai karya lukis diberbagai genre lukis. Ada juga pengrajin kulit hewan yang disulap menjadi benda bermanfaat dan berkualitas seperti tas, dompet, serta ada juga yang memiliki ahli di bidang Dot Painting. Jangan ditanya karyanya sudah berkiprah kemana saja, alhamdulillah sudah ada yang menyebar hampir di seluruh Indonesia.

Desa, Kota bahkan hingga Kabupaten lain sangat mengenal bahwa di desa Bunder Krajan banyak seniman yang karyanya luar biasa. Akan tetapi, cukup miris, dibalik ketenaran dari kampung sebelah, desa sendiri pun tidak mengetahui bahkan untuk menggali jauh pun masih tidak tahu. Banyak emas, tetapi emas itu masih terpendam di jenis bebatuan yang paling dalam dari tanah. Sangat-sangat tidak terlihat. Seperti bangun tidur, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk.

Bismillah, dengan tekad yang kuat, kerjasama dan berbagai dorongan positif dari beberapa seniman kami lakukan acara pameran lukisan yang bertemakan “Malam Seni Bertajuk Mimpi”, pada sabtu , 10 Februari 2018.

Dengan tujuan memberikan wadah apresiasi kepada seluruh seniman, memperkenalkan karya-karya seniman Desa yang sudah terkenal, membangun pemahaman dan kerja sama antar seniman dengan semua warga masyarakat, dan terpenting memberikan wadah edukasi untuk generasi muda untuk belajar seni.

Sabtu pagi kami bertindak, kerumah-rumah seniman mengambil beberapa karya mereka untuk dipamerkan, pinjam berbagai kebutuhan kesana-kemari kepada masyarakat sekitar, merangkul beberapa masyarakat yang mau berpartisipasi, memikirkan berbagai suguhan manis untuk beberapa tamu, dan menghubungi berbagai relasi komunitas, relasi media untuk berkunjung ke Desa kami. Jangan ditanya kami mendapatkan dana dari siapa? Benar-benar gerakan nol rupiah, hanya butuh niat, semangat, kerja sama dan terpenting Do’a kami bisa melakukan semuanya.

Apakah semulus yang kalian lihat perjalanan ini? Sama sekali tidak !! Butuh kekuatan mental dan ketabahan karena berbagai hambatan, cemohan, lecehan dan bahkan hal yang membuat saya sedih adalah kurangnya dukungan dari keluarga sendiri itulah yang saya pribadi rasakan.

Sebelum saya dan teman-teman memulai aksinya, saya dihampiri salah satu keluarga saya. Beliau berkata, “Mengapa harus melakukan ini ? tidak usah membuat perkara dengan masyarakat sini. Aku tidak mau kalau kamu di omongkan dan dilecehkan oleh masyarakat. Sudahlah kamu diam saja, fikirkan skripsimu saja. Jangan aneh-aneh!!!” Tersontak hati saya, semakin sakit dan sedih, mengapa keluarga saya sendiri membuat mental saya semakin lemah. Saya menangis, berkata “Bahwa ini harapan saya, saya ingin berjuang untuk desa saya, biarkan orang mau berkata apa, bukan sekarang saya mendapatkan balasan, tapi esok, yakinlah itu!” . Akan tetapi, beliau masih bersikukuh dengan argumennya. Saya tahu bahwa orang tua mana yang ingin anaknya tidak disukai dan dilukai orang, saya tahu persis. Tapi, saya yakinkan pada beliau, “Tolong dukung saya, jangan membuat saya menjadi lemah. Doakan saja saya bisa melalui ini semua, dan doakan tetap diberi kesehatan. Hanya itu!”.

Seperti drama, semua yang berawal dari kegelisahan, kesedihan dan ketidakyakinan berubah menjadi semangat karena terlalu banyak motivasi, semangat yang diberikan oleh orang-orang sekitar. Saya bergegas, menghampus air mata, saya ganti dengan senyuman kebangkitan. Bismillah,, yakin,,yakin dan pasti bisa !!!!

Persiapan demi persiapan, hingga malam puncak datang. Segala karya dipamerkan, demo lukis pun dilakukan  dan hanya berdurasi 1 jam lukisan itu jadi dan diberikan kepada kami, sebagai wujud apresiasi, hadiah dan awal untuk maju menjadi lebih baik lagi. Di sisi itu, alhamdulillah wasyukurillah respon masyarakat cukup mendukung dan anak-anak  banyak berdatangan karena bagi mereka itu adalah hal baru, yang baru pertama kali mereka lihat di desa mereka. Beberapa relasi dari berbagai komunitas mulai berdatangan, teman-teman Prasasti Singojuruh, Rumah Baca Tabassam Labanasem, dan teman-teman dari Bangsring Banyuwangi, dan tak luput dari dukungan pak RT dan Pak Kepala Dusun.

Puji syukur, yang sampai sekarang tak henti-hentinya saya merasakan betapa indahnya dan hangatnya keakraban, kebersamaan, simpati dan empati jika sudah menyatu seperti itu. Tak mengenal dari apapun mereka berada, strata, jabatan maupun profesi berkumpul menjadi sebuah keharmonisan saling menghargai. Jika saya malam itu ditanya, apa yang saya inginkan ? saya pasti menjawab, saya ingin memiliki planet sendiri yang penghuninya orang-orang seperti mereka. Lengkap rasanya, awalnya orang itu tidak bisa, menjadi bisa karena saling belajar dan berbagi, kepedulian, kesabaran, ketulusan, saling menghargai, kerjasama, kekompakan, cinta dan kasih sayang dan senyuman tulus dari dalam hati mereka. Itulah yang terpenting.

Ada niat dan usaha pasti ada hasil yang setimpal.  Akan tetapi tanpa Do’a semua tidak akan pernah menjadi apa-apa. Ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari kami, para pemuda-pemudi penggerak desa Bunder Krajan yang ingin membangun desa kami menjadi lebih berkembang dan maju. Bismillah, nantikan info selanjutnya dari kampoeng kami, Kampoengnya para seniman J

 

13 Februari 2018

08.42

Siska (Relawan Rumah Baca Biru)

#

Comments are closed