Generasi zaman now, begitulah mereka menyebut generasi millennial. Sebuah generasi yang hampir setiap detiknya tak jauh-jauh dari yang namanya gadget. Sebuah generasi yang memiliki lompatan jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Tentu harapan selalu disematkan agar generasi saat ini merupakan bentuk progres dan upgrade dari generasi sebelumnya. Ya, semoga saja.
Kemudahan memperoleh informasi, kebebasan berpendapat dan Hak Asasi Manusia (HAM) ditambah lagi Komnas-komnas terkait kepemudaan begitu aktif membela kepentingan generasi millennial. Sehingga tak heran beberapa pihak mengklaim generasi millennial merupakan generasi manja dan serba instan. Sebagai gambarannya, dulu seorang guru memiliki posisi yang krusial dan begitu karismatik dimata muridnya. Jangankan berfoto bersama, mendengar suara langkahnya saja semuanya lantas menunduk dan tak jarang menghidar, saking karismatiknya. Hari ini, hal tersebut bertolak belakang, guru hari ini dituntut (sesuai zaman now) harus mampu menjadi partner/sahabat bagi murid-muridnya, sehingga tak heran selfie, nge-vlog, dan aktivitas berbau millennial lainnya melibatkan guru dan murid didalamnya. Tentu sebuah “kemajuan” yang luar biasa.
Membicarakan millennial selalu menarik, sebut saja fenomena kekerasan murid terhadap guru yang baru-baru ini ramai dibicarakan. Bahkan tak hanya kekerasan, di Madura seorang guru harus meregang nyawa akibat ulah sang muridnya, miris. Fenomena semacam ini tentu berbanding terbalik dengan tuntutan seoarang guru untuk menjadi sahabat muridnya (Pendidik 4.0). Menjadi sahabatpun tak mampu menjadikan guru sebagai orang yang seharusnya dihormati.
Entah masuk dalam kategori terlambat, akhirnya masyarakat baru sadar bahwa harusnya budi pekerti menjadi kemudi bagi mereka yang disebut insan terdidik. Pendidikan harusnya mampu menumbuhkan kesadaran untuk menjadikan akhlak sebagai pedoman berprilaku. Dalam dunia pendidikan, mendapatkan kualitas intelektual yang tinggi (kadang diukur dengan nilai setiap mata pelajaran) akan menjadi percuma jika dalam perilakunya tak mencerminkan keilmuan yang didapatkan.
Fokus akan nilai-nilai ujian menjadi salah satu dari berbagai akar permasalahan tentang degradasi moral yang terjadi saat ini. Tentu jamak diketahui, setiap tahunnya begitu luar biasa persiapan pemerintah, sekolah, siswa sampai orang tua untuk mempersiapkan ujian-ujian itu. Fenomena semacam ini menggambarkan bahwa begitu sakralnya dan mungkin hal tersebut menjadi puncak pencapaian sesesorang dalam dunia pendidikan. Hingga mereka lupa bahwa membumi itu lebih penting. Menjadi khalifah dimuka bumi tentu harusnya tak hanya diukur dari nilai-nilai tersebut, karena nilai-nilai kehidupan hampir tak terjamah oleh soal-soal ujian.
Tak sampai disitu, persiapan ujian yang luar biasa oleh berbagai pihak kemudian seolah menjadi lelucon menarik untuk diperbincangkan. Tak lama setelah UNBK yang dihelat, si millennial berulah lagi. Banyak cuitan, status, dan history yang ramai membanjiri timeline berbagai sosial media. Entah ini trend atau malah degradasi akhlak? Mungkin lucu menurut si pengunggah, namun julukan manja pada si millennial mungkin ada benarnya juga.
Fenomena-fenomena yang dibahas diatas merupakan potret sosial saat ini. Tentu, melihatnya harus dari berbagai sudut pandang. Jangan sampai kemudian millennial lah yang harus mempertanggungjawabkannya. Bicara generasi, berarti bicara tentang tatanan kehidupan yang kompleks. Terdapat berbagai pihak yang kemudian turut serta dalam terciptanya fenomena sosial. Jika arus informasi tak bisa ditangkis eksistensinya, maka memaknai dan menyikapinya tentu perlu di pecahkan bersama untuk menemukan formulasi yang tepat. Bagi si millennial, ya tentu harusnya lebih jeli menghadapi trend yang berkembang. Tak hanya ikut eksis tapi harus direnungkan apa dampaknya. Bagi si pemilik kuasa, tentu fenomena yang terjadi bukan hal sepele karena ini menyangkut sebuah generasi dan masa depan negeri. Menata kembali berbagai tatanan yang memang harus ditata ulang dan tentu menjadi tokoh panutan adalah hal yang wajib dilakukan. Bagi orangtua, tentu selalu belajar dan menyesuaikan diri dalam mendidik anak harus terus diupayakan.
Kesimpulannya, permasalahan pada generasi millennial adalah tanggungjawab bersama. Saling tunjuk menentukan siapa yang salah tentu bukan pilihan. Duduk bersama dan bergerak bersama yang justru wajib dilakukan. Inti dari permasalahan yang ada adalah budi pekerti/akhlak. Karena kesalihan pribadi akan membentuk kesalihan sosial. Menjadikan akhlak sebagai pedoman dirasa wajib. Mengingat Nabi akhiruzzaman pun diutus bukan untuk merubah si bodoh jadi pintar. Tapi merubah dan memperbaiki akhlak. Karena sepandai apapun seseorang belum jadi jaminan jika ia memiliki keluhuran akhlak. Untuk itu, diakhir tulisan ini, ijinkan kami mengutip syair dari guru kami berikut ini:
Apike manungso seng krono pintere
Kadang mergo pinter malah dadi sombonge
Apike manungso seng krono pangkate
Kadang mergo pangkat malah dadi anggake
Menungso apik ning akhlak luhure
Menungso apik sumeh tutur bahasane
Apike manungso seng pengalamane
Mergo pengalaman kadang dadi alemane
Apike manungso seng kelebihane
Mergo kelebihan kadang ngino liyane
Menungso apik ning budi pekertine
Menungso apik ning ajere wajahe
Berakhlak berbudi mesti berilmune
Pinter berilmu durung karuan akhlake
Comments are closed