Sudah tau semuanya berubah, sudah faham lingkunganmu seperti itu adanya, sudah sering melihat berita, dan sudah tau betul bagaimana Indonesia??? Menghujat, mengumpat, nyinyir, dan bahasa alien lainnya seolah adalah bahasa biasa saja ketika bicara tentang Indonesia. Negara korup, degradasi moral, pergesaran budaya, adu domba, rasis, dan banyak lagi yang melekat dibalik nama tersebut.
Hati ini menggerutu, tak terima dengan keadaan ini. Semacam terjebak dibejana penuh karat yang tak mungkin lagi dapat di bersihkan. Untuk mereka yang saat ini mempunyai kuasa, mungkin bisa saja mereka menciptakan kebijakan dan peraturan untuk membenahi itu semua. Tapi, Mana? Untuk mereka yang disebut kaum intelektual mungkin bisa saja dengan jumlahnya yang terus bertambah dan pengetahuan yang selalu mereka asah, sangat mungkin mereka mengubah semua dengan modal intelektualnya. Tapi, mana? Apakah masih menunggu, ya menunggu semuanya terlambat baru berbenah. Lalu bagaimana saya. Ya, saya, yang tak punya apapun apalagi kuasa untuk dapat merubah atau berbenah. Ini harus segera dan segera dilakukan. Tapi dengan apa? Ketika saya hanya bisa menghujat mereka yang berkuasa, maka saat itu pula saya sebenarnya telah memilih untuk ikut menambah masalah. Lalu? Diam? Ketika diam, dan apatis terhadap keburukan yang ada, maka saat itu saya sebenarnya ikut andil dalam keburukan yang ada. Ahhh ini yang disebut galau. Setidaknya galau terhormat. Ahhaha
Hey, dirimu bukan siapa? Punya apa? Bisa apa? G malu? Pertanyaan seperti ini seolah menghakimi ketika memulai beraksi. Pertanyaan seperti ini yang kemudian menjadi penghalang untuk memulai bermimpi. Asumsi dan asumsi yang selalu membatasi diri ini berkreasi. Sampai waktu itu tiba. Ketika hanya berfikir masa depan dan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kelak. Maka, kuputuskan untuk memulai semuanya. Mengambil peran terkecil yaitu merubah. Merubah diri sendiri dan meyakinkannya bahwa semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana ingin mengubah yang lain ketika diri ini masih stag di pola pikir yang konservatif.
Mulai iseng menemukan apa potensi diri ini. Apa yang bisa dibagi, apa yang kemudian bisa menjadi solusi. Aktif diberbagai organisasi merupakan langkah awal kemajuan yang luar biasa dalam hidup saya. Mengapa tidak, mulai SMA, saya sudah berkeyakinan bahwa berorganisasi itu mengurangi waktu belajar dan tidak ada gunanya. Sampai akhirnya merasakan bahwa memang benar kalau manusia itu makhluk sosial. Butuh bersama-sama untuk melangkah. Butuh bersama-sama ketika hendak mewujudkan mimpi-mimpi besar.
Pencarian koloni untuk mewujudkan mimpi itupun semakin terang benderang. Diawali pertemuan singkat sore itu di taman serintanjung. Kami dipertemukan dengan pemuda langgas (Kak hikmah, kak risqif, dan team) yang mencoba memberikan gambaran mengenai peran apa yang dapat dilakukan pemuda saat ini. Kami semua menemukannya, kami sepakat bahwa pemuda saat ini butuh mengambil peran sebagai pembuat solusi bukan sekedar diam apalagi mengkritik. Kata-kata sihir dari kakak langgas itu menghipnotis kami seolah kami dibawa pada frekuensi mereka. “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan” begitu ujar mereka. Pertemuan yang tak pernah direncanakan itu akhirnya menjadi awal dan pintu masuk kedalam koloni pemuda yang optimis bahwa Indonesia itu hebat dan semakin hebat justru karena gerakan mereka yang dari bawah. Karena sebaik apapun tampilan sebuah pohon, akan tumbang juga ketika akarnya tak kuat menghujam buminya.

Achmad iqbal

#

Comments are closed