Kidung kehidupan tak ubahnya seperti sebuah ajang mencari-cari apa yang sebenarnya sudah tertulis jelas dan terpatri dilangit luas. Mereka yang memiliki “iman” tentu yakin bahwa setiap hembusan napas, setiap jengkal langkah, dan setiap detik waktu merupakan garisan Tuhan. Mereka yang “beriman” tentu tak serta merta tanpa usaha dan hanya pasrah. Karena ketidaktahuannya akan garisan takdir, akan membuat ia selalu berusaha memperbaiki apa yang ada dalam pribadinya, sekelilingnya, dan bahkan semesta. Karena itulah esensi Kholifah sebenarnya.
Dengan Maha Adilnya, Tuhan menciptakan segalanya berpasangan. Konsep keseimbangan. Maka Tuhan menciptakan solusi dan masalah, menciptakan kebaikan dan keburukan, kemajuan dan keterbelakangan, kesadaran dan kesesatan. Keseimbangan tercipta justru dari adanya perbedaan dua sisi yang ada. Maka diri ini hanya tinggal memilih “peran”. Peran yang sesuai dengan fitrah dan peran yang sesuai dengan tugas sebagai manusia. Akal manusia merupakan sensor mutahir dari Tuhan yang akan menuntut manusia memilih peran apa yang harus ia ambil dan tunaikan.
Dewasa ini dengan perkembangan yang sedemikian hebatnya menuntut segalanya untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan yang ada. Perubahan yang kadang menerobos nilai-nilai dan norma yang selama ini menjadi pegangan hidup manusia. Dahulu, Indonesia sangat terkenal dengan keramahan dan gotong royongnya. Namun, bagaimana saat ini? Bukan kah media sudah mewartakan bagaimana wajah Negeri yang konon agamis ini? Sudah bukan rahasia lagi jika perubahan sosial, adat, budaya, ekonomi dan bahkan segala sendi kehidupan pun berubah kearah yang “memperihatinkan”. Isu perpecahan, konflik kelompok, kepentingan, rasis mewarnai dan mengoyak negeri ini. Kekuatan ekonomi, politik seolah tak mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik. Pergantian kepemimpinan sudah tak lagi bisa diharapkan lagi.
Merdeka!!! Pengakuan dunia seakan hanya simbol yang bertolak belakang dengan kenyataan dan harapan. Lantas siapa yang bertanggungjawab atas ini semua? Salah siapa? Elite politik? Atau bahkan tingkat paling krusial yakni Pak RT? Mengingat konsep keseimbangan, maka pastilah terciptanya masalah tentu ada juga solusinya. MENGELUH BOLEH NAMUN PESIMIS JANGAN. Indonesia saat ini tidak butuh lagi dengan mereka yang hanya cerdas secara intelektual namun miskin kepedulian. Indonesia saat ini juga tidak butuh mereka yang hanya jago mengkritik tanpa solusi. Indonesia pun tak lagi butuh mereka yang hanya tampil dengan membawa bendera masing-masing dan saling menunjukkan “ke-akuan” nya. Dan bahkan yang tidak kalah penting bahwa Indonesia tidak butuh diktator ulung namun yang dibutuhkan adalah Aktor. Ya, aktor perubahan. Merubah yang semestinya berubah. Maka dengan wajah dunia saat ini, mungkin mulai menemukan peran sebagai aktor atau agen perubahan dalam segala bidang kehidupan.

Achmad iqbal

#

Comments are closed