Tentu masih terngiang di benak kita dari kabar bocah kecil yang melantunkan lagu “Ojo Dibandingke” di hadapan Presiden Jokowi saat upacara peringatan HUT Ri ke-77 di istana. Ya, Farel Prayoga, anak Banyuwangi yang lagunya begitu viral di media sosial dan sering digunakan sebagai backsound para konten creator tiktok dan instagram.
Banyak masyarakat yang memberi apresiasi atas keterampilan Farel saat menyanyikan lagu bergenre dangdut koplo yang liriknya relevan mewakili orang dewasa yang berjuang untuk cinta.
Namun, tak sedikit pula yang memberi tanggapan miring terhadap Farel, terutama terkait sekolah yang sering bolos karena urusan berkeliling menerima undangan bernyanyi. Mulai dari televisi, Instansi Pemerintah, Kementerian, hingga diundang artis dan orang berduit.
Atas kemampuannya bernayanyi, Farel kini sudah bisa beli mobil Xenia dan merenovasi rumah di kampungnya di Dusun Sumberejo, Desa Kepundungan, Kecamatan Srono, Banyuwangi.
Kita semua sadar bahwa pendidikan adalah kunci untuk masa depan. Ingat “Pendidikan”… tapi bukan “Sekolah”. Sebab menurut saya, sekolah bukan satu-satunya faktor untuk menentukan masa depan yang cemerlang. Tapi kata kuncinya adalah “Belajar”.
Bukankan banyak dari kita menemukan orang yang “Sekolah Tapi Tidak Belajar”, atau sebaliknya banyak orang “Belajar Tapi Tidak Sekolah”. Dan saya juga sangat meyakini, banyak orang yang pergi “Ke Sekolah Dan Belajar”. Mengapa? Karena sekolah bukan lembaga hidup di lingkungan hampa. Sekolah adalah bagian dari keluarga dan komunitas.
Pernyataan saya diatas bukan berarti saya melarang setiap anak untuk bersekolah. Namun, sekolah selaku penyedia layanan pendidikan bukanlah satu-satunya cara untuk menghasilkan generasi yang cemerlang dan mampu menjamin kesusksesan di masa depan.
Mau bukti? Coba kita kembali buka data soal kasus korupsi yang sering diberitakan di media. Mereka yang melakukan korupsi bukan orang-orang yang tak memiliki gelar pendidikan. Tapi justru dilakukan oleh orang-orang yang menyelesaikan wajib belajar bahkan lulus sarjana hingga mendapat sederet gelar guru besar.
Yang paling tragis, peristiwa meninggalnya ajudan polisi yang ditembak melalui pembuhuan berencana oleh seorang jendral. Ini terjadi di sebuah instansi yang harusnya mampu memberi teladan soal penegakan hukum di Indonesia. Tapi, nyatanya jabatan strategis yang dimiliki justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Peristiwa diatas harusnya menjadi alarm untuk kita semua agar segera melakukan refleksi dan evaluasi terhadap tujuan jangka panjang pendidikan. Ya, kita harus berani mengambil langkah yang radikal untuk mengembalikan fungsi sekolah agar kembali on the track, yaitu berfokus pada tujuan.
Belajar dari Ki Hajar Dewantara, bahwa hakikat pendidikan adalah seluruh daya dan upaya yang dikerahkan secara terpadu untuk tujuan kemerdekaan lahir dan batin manusia. Membebaskan diri dari ketidaktahuan, sikap iri, dengki dan egois sehingga lahir generasi yang bijaksana.
Budi pekerti menjadi landasan utama untuk mencapai kemerdekaan. Yang artinya, manusia dapat memerintah diri sendiri dan menjadi manusia yang beradap serta mampu menghargai hak-hak orang lain.
Kembali ke Farel, ia adalah satu diantara banyak anak yang tergali minat dan bakatnya. Jauh sebelum kebanjiran job, farel ngemen dijalanan bareng ayahnya. Ia mulai mengasah kemampuan menyanyinya sejak usia kelas 2 SD.
Di sela-sela kesibukan sekolah, Farel terkadang harus mengamen setelah subuh hingga pukul 6 pagi. Lalu ia bergegas menuju sekolah. Tak jarang malam hari juga ia melanjutkan untuk kembali mengamen.
Kebiasaan inilah yang akhirnya membuat Farel memiliki kamampuan mengolah suara yang baik dan terus mengasah karakter suaranya yang unik. Bakatnya kemudian dilirik oleh salah satu penyanyi lokal, dan diundang untuk manggung dengan membawakan lagu “Ojo Dibandingke” dan “Joko Tingkir”. Sehingga, lagu tersebut viral menjadi musik latar di media sosial dan popularitasnya melambung sehingga Farel bisa manggung di istana.
Bakat seorang Farel justru tidak ditumbuhkan di sekolah, tapi ia diasah di lingkungan keluarga dan komunitas. Ini artinya banyak sekolah yang hari ini belum mampu memfasilitasi minat dan bakat anak-anak sehingga sampai usia dewasa mereka tak memahami potensi dirinya dengan optimal.
Saya pernah melakukan servey singkat kepada anak-anak SMA sederajat. Dengan jumlah responden 100 siswa. Hasilnya 92% anak-anak tidak mengetahui bakatnya, 6% tahu dan 2% masing bingung/ragu.
Contoh lain lagi. Masih ingat dengan Jeje? seorang remaja perempuan bernama yang viral di Twitter dan TikTok. Sebabnya, Jeje acapkali menghabiskan waktunya di jalanan untuk berkumpul dan menggelar aksi foto session di sebuah zebra cross yang kemudian menjadi konten viral di kalangan warganet.
Bukan tanpa alasan pemilik nama asli Jasmin Laticia itu hidup di jalanan yang sangat keras. Kedua orang tuanya berpisah, apalagi ayahnya tinggal di Belanda. Jeje mengaku memilih kabur dari rumah karena menerima tindakan pelecehan dari salah satu pekerja di rumahnya. Jeje saat itu tinggal bersama neneknya.
Terlepas dari segala kontroversi soal Jeje, saya ingin melihat satu hal yang hebat dimiliki oleh perempuan yang wajahnya mirip dengan artis Fujianti Utami Putri atau yang dikenal dengan sapaan Fuji. Bukan soal viralnya, tapi tentang coping stress dan daya juangnya untuk bisa bertahan hidup.
Sekarang bayangkan saja atau saya tantang anada semua yang sudah berkeluarga, jika kita punya anak, lalu kabur dan dibiarkan hidup di jalanan. Yakin bisa bertahan seperti Jeje? Yang ada, baru sehari di trotoar ujung-ujungnya masuk angin alias “greges”.
Saat kabur dari rumah, Jeje pernah merasakan tidur di kolong rel Stasiun Tanah Abang, sampai akhirnya dia bertemu dengan teman bernama Ani yang tinggal di Jakarta Barat. Bersama Ani, Jeje tinggal di rumahnya dan akhirnya punya pergaulan di Sudirman.
Disisi lain ada banyak anak-anak yang masalahnya tak seberat Jeje justru mengalami depresi bahkan harus mengakhiri hidupnya. Beberapa hari yang lalu, kita mendengar siswi SMP bunuh diri karena depresi dengan terjun ke sungai Bengawan Solo dari atas jembatan.
Ada juga, siswi SMA di Kabupaten Gowa memilih bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya dimana korban sering mengeluh kepada rekan-rekan sekolahnya atas sulitnya akses internet di kediamannya yang menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.
Kembali belajar dari Farel dan Jeje, saya pribadi tentu juga tak sepakat dengan popularitas semu. Apalagi di usia anak yang sudah mulai bergelut di dunia indusrti seperti Farel. Saat ini Farel bergabung di salah satu label musik di Banyuwangi dan lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu orang dewasa.
Begitu juga Jeje, yang bisa terkenal karena ia hidup di era generasi internet yang latah. Kadang popularitas memang bisa berpengaruh pada kredibilitas seseorang. Meski tak jarang kredibilitas itu, terkadang hanyalah sekedar kredibilitas semu. Artinya, seseorang yang tadinya hanya punya kemampuan dan skil biasa-biasa saja, namun karena ia lebih populer, maka bisa saja dianggap kemudian lebih kompeten ketimbang yang lain yang lebih punya kemampuan.
Kini saatnya kita perlu berjeda sejenak untuk kembali mengingat tentang pentingnya tujuan dalam pendidikan. Dengan ini kita semua akan sadar pentingnya ekosistem pendidikan yang kolaboratif, antara sekolah, keluarga dan komunitas.
Agar lahir generasi yang merdeka, yaitu mampu menilai pencapaian dan kemajuannya, mandiri dalam mengatur prioritas belajarnya, dan dapat menentukan cara-cara yang sesuai untuk belajar secara adaptif. Baik dilakukan di sekolah formal maupun non formal.
Ki Hajar Dewantara telah memberi teladan, ia memerdekakan anaknya saat belajar apapun, berdasarkan bakat mereka. Bekal itulah yang harus dibawa anak Indonesia untuk berdaulat atas dirinya sendiri.
Pada akhrinya, Kita perlu sadar bahwa tujuan pendidikan yakni menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, seorang pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak agar dapat memperbaiki diri. Secara sederhana bahwa tugas seorang pendidik adalah menggali, menuntun, serta mengembangkan bakat dan minat siswa, bukan merubah apa yang siswa minati.
Salam Merdeka Belajar !!!
Tunggul Harwanto
(Founder & CEO Rumah Literasi Indonesia)
Comments are closed