Desa, begitulah mereka banyak menyebut tempat tinggal kami. Rerimbunan pohon, sejuknya udara, dan hamparan dedaunan hijau merupakan penampakan alam yang mampu membius siapapun penikmatnya untuk tidak bersegera meninggalkannya. Kerukunan, keramahan, dan gotong-royong merupakan ciri selanjutnya yang khas dari masyarakatnya. Dahulu, desa sering dikonotasikan sebagai tempat yang alami dan jauh dari kata modernisasi. Desa merupakan wilayah pemasok kebutuhan mereka yang ada di kota. Desa juga tak jarang di gambarkan sebagai wilayah kumuh dan tertinggal. Itu dulu, sekarang sudah berbeda.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sudut pandang masyarakat desa membawa mereka pada titik dimana hampir tak bisa dibedakan antara kota dan desa. Jika kota dipenuhi oleh kaum intelektual berpendidikan tinggi, maka di desa pun banyak. Jika generasi milineal kota candu gadget, maka anak desa pun tak kalah. Dukungan regulasi juga membuka peluang untuk desa berdikari. Bergerak secara otonom mengarahkan masa depan desa. Modernisasi yang dialami masyarakat desa tentu sedikit berbeda dengan kota. Masyarakat desa cenderung “menelan” mentah-mentah modernisasi yang ada. Mengikuti trend yang paling uptodate merupakan bentuk penyesuaian masyarakat desa terhadap perubahan.
Disisi lain, pemerintahan desa cenderung masih mempertahankan pola pelaksanaan pemerintahan yang sudah basi. Pemerintahan desa hanya sukses dalam pelayanan administrasi namun belum sampai menyentuh inti dari peran sebenarnya yakni menjadikan masyarakat desa sebagai subjek perubahan. Padahal, UU No 6 Tahun 2016 Pasal 26 ayat (1) menyebutkan tugas pemerintahan desa secara lengkap, yakni menyelenggrakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, pembinaan kepada masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat desa belum sepenuhnya dilaksanakan.
Selain itu, budaya masyakat yang sudah mengakar menjadikan seolah-olah mereka konservatif dalam menerima peruabahan, padahal tidak sepenuhnya demikian. Masyarakat sebenarnya hanya butuh di dampingi. Komunikasi yang baik antara berbagai elemen masyarakat, edukasi bagaimana berdesa, wadah penyampaian aspirasi yang kurang tepat merupakan contoh kendala yang dialami masyarakat untuk berkembang. Jika kita selama ini hanya fokus membangun desa dari aspek fisik, maka lebih bijaksana lagi untuk memulai membangun desa dari manusianya. Menempatkan manusia sebagai perhatian merupakan langkah mendasar dalam membangun desa yang sebenarnya. Bagaimana individu bersosialisasi dengan keluarga dan kelompoknya, bagaimana mereka memilih sumberdaya dan memanfaatkannya merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk mulai melakukan perubahan. Mengetahui pola yang terjadi untuk kemudian menformulasikan strategi pembangunan.
Sebuah pendekatan yang disebut sustainable livelihood (SL) dapat digunakan untuk membangun desa. Pendekatan ini dilakukan dengan metode yang berbeda dari konsep pembangunan desa konvensional. Konsep SL menempatkan kekuatan dan kapasitas lokal menjadi yang utama dibanding menggali kebutuhan yang dipenuhi oleh pihak eksternal. Artinya, penyadaran masyarakat desa akan potensi kekuatan dan kapasitas lokal wajib dilakukan. Hal ini sebenarnya selaras dengan amanat UU No. 6 Tahun 2014 yang lebih condong pada pembangunan desa berkonsep endogenous development. Masyarakat harus diedukasi bahwa membangun desa seharusnya tidak hanya mengandalkan bantuan pihak luar desa. Masyarakat harus memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan aset atau kekayaan yang dimiliki. Dengan demikian, penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) akan berlangsung manakala masyarakat desa mampu menciptakan solusi dari setiap masalah dengan tetap menjaga sumberdaya untuk kehidupan berkelanjutan. Dalam konsep SL, sumberdaya atau aset dikenal dengan pentagon asset, yakni natural capital, human capital, physical capital, social capital, financial capital, political capital.
Konsep SL memiliki tiga alur, yaitu aset, akses dan strategi mempertahankan/mengembangkan. Pertama, masyarakat harus menemukan aset melalui penyadaran. Aset dalam hal ini merupakan natural capital, human capital, physical capital, social caputal, financial capital, political capital. Jika masyarakat belum menemukannya atau sudah ada namun tidak mampu mengelolanya, maka alur kedua yakni “akses” sangat diperlukan. Akses ini terwujud dalam bentuk relasi-relasi, kelembagaan dan organisasi. Kolaborasi dan komunikasi yang efektif wajib dilakukan untuk mensinergikan berbagai kelompok atau organisasi yang ada di desa untuk ikut berperan aktif dalam memanfaatkan atau menguasai berbagai aset yang dimiliki desa. Perlu adanya pihak yang mampu menjembatani berbagai kelompok. Setelah menemukan/menyadari aset, mampu mengelola dan menguasai melalui akses, maka selanjutnya dapat disusun startegi untuk mempertahankan atau bahkan mengembangkan potensi yang dimiliki. Strategi yang disusun tentu berdasarkan kemampuan dan kapasitas sumberdaya manusia baik secara kelompok maupun individu.
Inti dari pembangunan desa berdasarkan konsep SL adalah penyadaran masyarakat. Masyarakat harus di edukasi. Perlu diketahui, walaupun banyak jebolan kampus atau lembaga pendidikan lainnya di desa, namun sangat minim dampaknya terhadap masyarakat. Kaum akademisi masih menjadi alien dan terpisah dari masyarakatnya. Tidak hanya akademisi, pemerintahan desa yang menjadi ujung tombak pembangunan desa harus mulai terbuka. Meninggalkan konsep yang konvensional dan mulai melakukan konsep yang sesuai perkembangan. Otonomi di tingkat desa sudah seharusnya di mulai. Masyarakat desa yang harus menentukan arah perkembangan desa melalui partisipasi aktif. UU tentang desa menjadi bukti bahwa sebenarnya pembangunan yang tersentralisasi sudah tak berdaya, pembangunan dari tingkat terkecil, yakni desa merupakan solusi. Implikasinya, wajah Indonesia adalah bagaiamana desa berbenah, tidak hanya bagus secara fisik, namun tatanan sosial, demokrasi tingkat desa , dan pengelolaan sumberdaya harus dilakukan. Mari berdesa, karena wajah Indonesia adalah tentang bagaimana kita yang ada di desa.

 

___________________________________________

ACHMAD IQBAL

Dosen,  Pengelola Rumah Baca Arkara, dan pengurus rumah literasi indonesia

Comments are closed