Dahulu siapa yang kenal dengan kota diujung pulau Jawa ini? Destinasi wisata, kuliner dan lainnya tentang Banyuwangi masih kalah dengan pamor santetnya. Banyuwangi yang lebih dikenal dengan kota Santet (Red: The Santet Of Java) perlahan berubah wajah menjadi kota tujuan wisata. Bahkan UNWTO sebagai organisasi internasional memberi gelar “Kota Tujuan Wisata” di tahun 2016. Cukup beralasan, Berdasarkan data kinerja perbandingan sebelum tahun 2010 dan sesudah 2015, Banyuwangi mencatat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari 12.500 menjadi 80.601 (naik 545%) dan kunjungan wisatawan domestik dari 45.000 menjadi 4.381.713 (naik 9.637%). Sehingga pendapatan per kapita juga mengalami kenaikan dari 20,8 menjadi 41,467 (naik 99,4%). Entahlah ini prestasi atau justru akan menimbulkan Domino Effect di kemudian hari
Pembangunan sektor pariwisata memang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah. Alasan klise dibumbui retorika pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat menjadi tameng jitu di balik “agenda lain” yang mungkin tak pernah dan tak mungkin untuk di publish. Dukungan hasil olahan data-data penelitian memang menunjukkan sektor pariwisata sangat potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyebut bahwa sektor pariwisata memiliki kontribusi penting bagi suatu negara, mulai dari kontribusi langsung (Direct Contribution), kontribusi tidak langsung (Inderect Contribution), dan kontribusi lain (Induced Contribution). Selanjutnya, World Travel & Tourism Council (2017) menyebebutkan bahwa kontribusi total dari sektor pariwisata memiliki efek pada GDP dan ketenagakerjaan. Artinya, Pariwisata berperan dalam peningkatan pendapatan dan pembukaan lapangan kerja baru yang diharapkan mampu meningkatan kesejahteraan masyarakat.
Semua data menunjukkan dukungan akan potensi pariwisata, maka siapa yang bertanggungjawab menceritakan bagaimana dampak negatifnya? Jarang ditemui dan bahkan seolah tak disentuh para akademisi. Lantas, jika sudah demikian, negara mana lagi yang lebih kapitalis otaknya jika segala hal hanya dipandang dari sisi materiil saja. Asal memberikan pundi-pundi rupiah, maka lakukan tanpa tau efeknya, miris. Sebagai generasi muda, tentu kita tak boleh kemudian menyalahkan pemangku kepentingan. Kritik boleh asal solusi juga diberikan.
Melihat geliat wisata di Banyuwangi, mungkin tulisan ini mengajak pembacanya untuk berfikir apakah tagline sebagai kota wisata itu berkah atau malah musibah? Kita terlebih dahulu melihat fakta. Apakah pembaca sudah berkeliling ke beberapa wisata di Banyuwangi? Terutama destinasi yang baru berumur jagung. Mayoritas wisatawan disuguhkan dengan spot-spot foto bertema cinta. Tampaknya beberapa destinasi wisata ini mengajarkan generasi saat ini untuk justru fokus ke sisi percintaan. Entah ini korban sinetron atau media sosial. Maka akibatnya tempat-tempat wisata dibanjiri oleh muda-mudi berpasangan. Implikasinya, wisata untuk keluarga menjadi berkurang dan tidak ramah untuk anak-anak. Wisata edukasi menjadi alternatif lain dalam hal ini. Hal ini bukan berarti berpasangan tidak diperkenankan. Namun, porsi yang mayoritas harus dikurangkan.
Disamping konsep percintaan, edukasi kepada masyarakat sekitar tempat wisata juga perlu dilakukan. Hal ini untuk pengembangan wisata berkelanjutan dan dapat dijadikan sebagai langkah preventif dalam menangkis efek negatif dari pariwisata. Sebut saja kerusakan lingkungan, perubahan budaya, dan efek negatif lainnya yang harus di cari solusinya. Masyarakat perlu disadarkan bahwa adanya pariwisata tidak akan merubah budaya dan adat istiadat lokal. Adanya wisata juga tak boleh menimbulkan masalah baru. Menjadi tuan rumah di kota bertajuk wisata juga tak merubah kita menjadi “pelayan” sepenuhnya para wisatawan. Memperjuangkan ciri khas daerah dan bertanggungjawab atas baik buruknya generasi selanjutnya harus juga diperhatikan. Perlu di ingat bahwa “kita bukan turis, ini tanah air kita”. Jangan sampai mendewakan tamu dengan mengorbankan anak cucu.
Pemerintah sebagai pemangku kepentingan juga harus memikirkan Banyuwangi kedepan. Sudah bukan rahasia lagi jiga kita lihat beberapa kota wisata di Indonesia kemudian menjelma menjadi Kota yang semakin hilang khasnya sebagai Indonesia. Pariwisata yang digadang-gadang menjadi alat pemerataan “kesejahteraan masyarakat” harus benar-benar diwujudkan. Jangan sampai “kesejahteraan Masyarakat” pemilik modal lebih diperhatikan dibanding masyarakat Banyuwangi sebenarnya. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton di rumah sendiri, syukur-syukur jadi penonton, kalau malah jadi “pelayan” sepenuhnya kan juga repot.
Generasi muda Banyuwangi juga harus mengambil peran. Kota kita sudah berubah, generasinya juga harus berubah. Berkolaborasi menjadi hal wajib dilakukan. Bersama-sama membangun Banyuwangi dari kampung halaman dengan melakukan peran sekecil apapun. Banyuwangi yang dikenal orang di sosial media tentu berbeda dengan apa yang kita lihat di kampung-kampung, bukan? Jika pemerintah, masyarakat, dan generasi mudanya sudah bergerak bersama, maka yakinlah Banyuwangi sebagai kota wisata itu berkah dan patut dibanggakan. Sebaliknya, jika tujuan jangka pendek dari pengembangan wisata menjadi prioritasnya, maka bersiaplah melihat Banyuwangi yang megah dan indah kotanya namun miskin kualitas masyarakatnya. Akhirnya, Banyuwangi hanya akan menjadi kota wisata pelapas penat dan pelampiasan nafsu pemilik uang.
___________________________________________
Dosen, Pengelola Rumah Baca Arkara, dan relawan rumah literasi indonesia
Comments are closed