Perayaan 78 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia disambut gegap gempita mulai dari warga perkotaan hingga warga pinggiran kampung. Beragam kegiatan menarik digelar untuk mengenang kembali nilai-nilai perjuangan para pahlawan yang berhasil mempertahankan kedaulatan bangsa.
Sayangnya, tahun ini kita melihat perayaan di berbagai tempat justru terkesan keluar substansi dan spirit kemerdekaan. Misal, yang paling nyata kita lihat hari ini, event karnaval yang di gelar di desa-desa lebih didominasi dengan atraksi “Goyang Pargoy”. Tumpukan sound system yang diangkut oleh mobil pick-up maupun truk dengan kapasitas besar memainkan lagu-lagu House Music yang liriknya kadang tak ada relevansinya dengan tema kemerdekaan.
Pamer lekukan tubuh perempuan yang asyik berjoget sepanjang jalan, semacam jadi air di tengah padang pasir yang tandus, yang mana sebagian besar warga terlihat sangat menikmati karena haus akan tontontan dan hiburan. Yang lebih parah lagi, ada seorang pria menggunakan pakaian wanita lalu memamerkan aurat perempuan sambil berlenggak-lenggok bak artis Bolywood. Gayanya cengangas-cengenges sambil melemparkan senyum ke setiap warga yang memberikan reaksi. Faktanya, justru banyak emak-emak mengapresiasi dan mengajak foto selfi.
Kita perlu tahu, bahwa menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender adalah bentuk kekerasan seksual. Hal inilah kadang yang belum banyak disadari oleh masyarakat Banyuwangi hari ini.
Disisi lain, Banyuwangi saat ini masih punya pekerjaan rumah yang belum selesai khususnya terkait dengan kasus kekerasan. Merujuk data kekerasan yang dimiliki oleh Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Penanganan Masalah Perempuan dan Anak (PPA), hingga akhir Mei 2023 diketahui kasus kekerasan yang melibatkan anak sebanyak 28 kasus dengan korban sebanyak 49 anak.
Karnaval yang seharusnya memberi teladan tentang semangat gotong-royong justru dicederai dengan penampilan tak senonoh dari para peserta. Tentu banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, selain minimnya literasi tentang sejarah perjuangan, pesera karnaval tak sepenuhnya mampu melihat lebih kompresensif tentang makna kemerdekaan yang fundamental.
Belum lagi, panitia karnaval tak memberi batasan tema dan aturan yang bisa dipakai untuk peserta sehingga mereka dengan bebas menampilkan kreasinya melalui berbagai pertunjukan jalanan. Bahkan pernah satu kejadian ada ibu-ibu yang curhat, akibat harus berjam-jam terjebak kemacetan ia bingung harus buang air karena tidak ada WC umum di sekitarnya. Ada juga ibu-ibu yang bingung sebab bayinya rewel akibat kehabisan susu formula dan ia harus menunggu berjam-jam untuk bisa memenuhi kebutuhan minum anaknya.
Memang tak ada yang salah soal perayaan karnaval tahunan ini, tapi paling tidak panitia perlu memilih rute yang tepat agar bisa meminimalisir kemacetan panjang akibat menggunakan jalan nasional. Termasuk, panitia punya ketegasan untuk membuat aturan bagi peserta agar bisa menyajikan pertunjukan dengan berbagai ekspresi didasari dengan upaya mengkampanyekan nilai-nilai pendidikan karakter yang baik, sebab warga yang menonton dari semua kalangan umur.
Comments are closed