BANYUWANGI – Peringatan Hari Pahlawan menjadi momentum yang selalu ditunggu para pegiat literasi dari berbagai kota untuk datang ke Banyuwangi. Ada event spesial yang menjadi salah satu daya tarik anak-anak muda untuk ikut berkontribusi dalam menumbuhkan budaya literasi. Event tersebut bernama “Inspirasi Sekolah Literasi” (ISL), yaitu sebuah program yang dilakukan secara periodik berupa kunjungan ke sekolah dengan tujuan memberi gambaran imajinasi tentang cita cita bagi para murid murid di sekolah serta fokus untuk membantu meningkatkan dan mengembangkan inovasi gerakan literasi melalui bedah perpustakaan.
Relawan yang terlibat tak hanya dari Banyuwangi saja, tapi juga dari berbagai kota di Indonesia. Mereka meluangkan waktunya untuk menjadi relawan di program tersebut dan rela mengambil cuti kerja demi menyapa adik-adik di pelosok desa. Peran relawan juga beragam, diantaranya mereka bisa memilih menjadi Relawan Fasilitator, Relawan Inspirator, Relawan Fotografer dan Videografer.
Melalui tagline #BERGERAKDARILITERASI, program yang digagas oleh Rumah LIterasi Indoneis ini dijalankan selam 3 hari di lokasi target yaitu SDN 4 Gombengsari. Para relawan juga ngecamp di bawah kaki Gunung Merapi dan sebagian ada juga yang tinggal di rumah-rumah warga.

Lilis Indah Rahmawati, selaku Project Manager Inspirasi Sekolah Literasi mengapresiasi para relawan yang terlibat di program ISL kali ini. Selain dari Banyuwangi, ada juga yang datang dari Depok, Mojokerto, Jombang, Surabaya dan Jember.
“Program ISL dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Yaitu saat momentum Hari Pendidikan di bulan Mei dan hari Pahlawan di bulan November. Mereka yang bergabung dalam program ini diwajibkan cuti selama 3 hari sehingga benar-benar bisa fokus untuk berperan menjalankan tugas sebagai relawan”, ungkap Lilis.
Potret Nyata Ketimpangan Pendidikan Di Gombengsari, Banyuwangi
SD Negeri 4 Gombengsari menjadi sekolah yang terpilih sebagi target program ISL jilid ke 12 bulan November i2023 karena selain lokasinya sangat sulit dijangkau, juga belum memiliki perpustakaan di sekolahnya. Untuk itu, Rumah Literasi Indonesia menyiapkan 1 tim yang berfokus untuk membadah ruang kelas menjadi “Pojok Baca”.

Jalan berbatu dan juga bergelombang tak mengurangi semangat para relawan untuk tiba di sebuah perkampungan yang posisinya di tengah-tengah hutan dan di bawah kaki Gunung Merapi.
Beruntung saat program ini dijalankan, hujan belum turun meskipun saat ini sudah musim penghujan. Menurut keterangan warga, jika hujan mulai turun, jalan tanah dan bebatuan tersebut berubah menjadi licin dan sangat sulit untuk dilalui oleh kendaraan.
Jumlah murid yang bersekolah di SD Negeri 4 Gombengsari sebanyak 14 siswa. Sebagian anak-anak berangkat sekolah dengan jalan kaki menyusuri hutan pinus dan kopi, sebagian lagi ada yang menggunakan kendaraan bermotor. Jika jalan kaki waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolah sekitar 30-45 menit.
Tak hanya soal jalan, yang menjadi tantangan utama pelaksanaan ISL di Gombengsari adalah akses air bersih yang sangat terbatas. Warga memanfaatkan sumber air yang berada di Gunung Merapi untuk digunakan mandi dan minum sehari-hari. Lokasi sumbernya pun jauh dari perkampungan, untuk tiba di sumber air tersebut harus mendaki selama kurang-lebih 4-6 jam.

Mirisnya, jika terjadi kerusakan di aliran pipa tersebut, butuh waktu berhari-hari untuk membenahi aliran agar kembali lancar, yang artinya selama proses perbaikan dilakukan, warga harus rela tidak mendapatkan air untuk dikonsumsi maupun digunakan untuk mandi. Saat relawan disana, sebagian juga merasakan untuk rela tidak mandi ketika airnya mulai terbatas.
Belum lagi soal listrik, warga yang tinggal di perkampungan tersebut harus rela menikmati aliran listrik yang terbatas. Sebab, mereka menyambung aliran listrik tersebut ke meteran milik PLN yang lokasinya hampir 5 km menuju pemukiman di luar Kawasan Perhutani. Alhasil tegangan lampu mejadi rendah dan tidak stabil. Saat malam hari, kampung ini terbilan gelap, karena masing-masing rumah mendapatkan akses listrik dengan daya yang sangat kecil.
