Publik di Indonesia mungkin sudah memafhumi jika masyarakat  negeri ini memiliki minat baca yang relatif rendah. Minat baca diartikan sebagai kecenderungan hati atau keinginan yang tinggi terhadap membaca. Di kalangan masyarakat Indonesia, membaca dianggap sebagai aktivitas yang kurang ekonomis. Mengapa demikian, karena pemenuhan kebutuhan (need) hidup jauh lebih penting dibanding dengan membaca. Hal ini berbanding lurus dengan hasil studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016. Hasil research ini menempatkan Indonesia menjadi negara yang memiliki minat baca terendah kedua atau menempati urutan ke-60 dari 61 negara di dunia. Minat baca di Indonesia masih berada pada angka 1%, artinya dari 1000 orang hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seharusnya memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk meningkatkan kualitasnya melalui membaca. Membaca di era digital seperti saat ini bukan hanya membaca buku secara fisik, namun juga dapat dilakukan secara digital (e-book). Dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi, hal ini malah menjadi momok makin terpuruknya intensitas membaca di Indonesia. Penduduk Indonesia malah lebih aktif bercuit di sosial media. Sebut saja di Facebook, Indonesia menempati urutan ke-4 pengguna FB teraktif didunia (liputan6.com., 21/4/2017), tidak hanya di FB, bahkan di Instagram pun Indonesia menjadi negara terbesar ketiga pengguna instagram (tribunnews.com., 2/4/2017), data yang dirilis oleh Twitter Indonesia juga menunjukkan angka yang fantastis. Sepanjang tahun 2016 saja pengguna Twitter di Indonesia telah mengirim 4,1 miliar tweet yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara paling cerewet di Twitter (beritasatu.com., 3/5/2017).

Setelah mengetahui beberapa fakta yang telah dijelaskan diatas , pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa peran literasi? dan apa saja hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas literasi di Indonesia? Artikel ini akan mencoba menjelaskan sejauh mana minat baca (baca:literasi) dapat mempengaruhi aspek kehidupan dan apa peran yang harus kita lakukan untuk merubah Indonesia lebih berliterasi.

Mengenal Literasi

Masyarakat Indonesia masih asing dengan istilah literasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya RLB goes to school yang di laksanakan oleh Rumah Literasi Banyuwangi. Dari acara tersebut, rata-rata remaja kita belum faham dan bahkan baru mengenal literasi. Bagaimana mungkin meningkatkan kualitas literasi tapi makna dari literasi sendiri belum mengerti?

Hal-hal yang berhubungan dengan dunia membaca dalam pengertian yang lebih luas cenderung diartikan sebagai literasi. Literasi di berbagai negara diartikan berbeda-beda. Literasi diartikan sebagai 1) kemampuan membaca surat atau berita, 2) kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana, 3) pencapaian sekolah yang diukur dengan naiknya tingkat pencapaian. UNESCO (2005) merangkum beberapa evolusi dari makna literasi. Literasi awalnya diartikan sebagai keterampilan (literacy as skills), literasi diartikan sebagai penggunaan, praktik, dan kondisi, kemudian literasi diartikan sebagai proses belajar, dan terakhir literasi dimaknai sebagai suatu teks. Dari berbagai definisi tersebut, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan yang diperoleh dari proses belajar baik menulis maupun membaca sehingga mampu menggunakan, mempraktikkan, dan menjadikan hasil dari proses belajar tersebut sebagai budaya.

Pengertian minat baca yang kemudian diartikan lebih luas dengan literasi menimbulkan 2 identitas dalam tatanan sosial (social order). Mereka yang memiliki kemampuan, keterampilan, dan minat terhadap membaca dan menulis disebut literate. Sedangkan mereka yang belum memiliki itu disebut illiterate. Identitas tersebut kemudian berubah menjadi educated dan non-educated. Perubahan identitas ini mengindikasikan bahwa mereka yang memiliki kualitas literasi rendah dianggap sebagai tidak terdidik (non-educated) sedangkan mereka yang memiliki kualitas literasi yang baik disebut terdidik (educated).

Seiring dengan perkembangannya, literasi merasuk keberbagai aspek kehidupan. Aziz (2016) membagi literasi kedalam berbagai macam bentuk, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan literasi moral (moral literacy). Berbagai jenis dari literasi ini menggambarkan bahwa memang literasi merupakan kunci ajaib yang mampu membuka pintu cakrawala pengetahuan. Selain itu, literasi juga tidak tepat jika diartikan hanya sebagai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Tetapi lebih kepada bagaimana memaknai apa yang telah dibaca dan ditulis.

Literasi dan Perubahan Sosial

Mungkin terlalu heroik jika menyebut literasi merupakan kunci dari semua perubahan sosial. Namun, faktanya memang demikian. Agama pun mengonfirmasi hal ini dengan firman pertamanya “iqra’’ (bacalah). Refleksivitas diri diperlukan untuk lebih mendalami pentingnya membaca (literasi) dalam kehidupan. Menjadi mustahil dan tidak mungkin seseorang tidak membaca sekalipun dalam sehari. Membaca kata, simbol, dan situasi merupakan rutinitas yang justru membantu seseorang menjalani kesehariannya. Berangkat dari sudut pandang ini, maka pertanyaan menarik yang mungkin muncul adalah apakah literasi itu benar-benar membawa perubahan sosial?.

Street (1984) menyatakan bahwa literasi dapat membawa perubahan sosial karena literasi merupakan teknologi murni (neutral technology) yang diartikan sebagai hak (rights) dan kapabilitas (capabilities). Sebagai hak, literasi harus dimiliki oleh setiap individu dan mampu memberi manfaat pada individu tersebut. salenjutnya, karena memberi manfaat pada individu, maka literasi mampu meningkatkan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya dan skill yang dimiliki (kapabilitas). Manfaat yang dirasakan dari literasi tidak hanya diartikan sebagai manfaat ekonomi, tetapi juga manfaat budaya. Literasi dapat bermanfaat dalam budaya melalui nilai, sikap, dan gaya hidup yang diperoleh individu dalam keluarga. Nilai, sikap, dan budaya itulah yang kemudian mampu meningkatkan partisipasi individu dalam kehidupannya.

Selanjutnya Roucek (1967) mennyatakan bahwa literasi dapat mengambil peran dalam perubahan sosial melalui pendidikan. Pendidikan diasosiasikan dengan sekolah. Hal ini dikarenakan pendidikan identik dengan pembelajaran di sekolah yang kemudian menciptakan budaya masyarakat. Dalam perspektif ini, sekolah tidak hanya dipandang sebagai alat kebijakan orangtua terhadap anak tetapi alat masyarakat untuk mengenalkan budaya dengan mengajarkan mereka teknik-teknik literasi guna menyiapkan generasi selanjutnya. Selain pendidikan, Roucek (1967) juga menyebutkan bahwa perubahan sosial melalui literasi dapat dilakukan dengan komunikasi yang baik. Di era digital seperti saat ini, komunikasi banyak dilakukan melalui media elektronik walau tak meninggalkan media cetak. Roucek menyebutkan untuk melakukan perubahan sosial, kita harus mulai menaikkan level menjadi penulis. Karena dengan menulis seseorang dapat menginterpretasikan, mentranslate, memodifikasi dan menyampaikan pesan kepada orang lain.

Perkembangan politik modern juga menjadikan literasi sebagai sarana perubahan. Awalnya masyarakat kelas rendah cenderung tidak memiliki kekuatan politik. Dengan adanya peningkatan kualitas literasi masyarakat  terkait demokrasi partisipatif, maka mereka kemudian mendapatkan hanya secara politik. Dalam konteks Negara Indonesia, dewasa ini dengan melihat perkembangan isu sosial, politik, budaya dan ekonomi , maka literasi sangat diperlukan. Beberapa alasannya adalah 1) Pendidikan harus berbasis multi pihak, diperlukan kolaborasi masyarakat, sekolah dan keluarga, 2) rendahnya minat baca masyarakat, 3) pendidikan harus berbasis gerakan tak sekedar menjalankan program. Karena literasi merupakan pembelajaran sepanjang hayat. 4) krisis keteladanan, 5) literasi menjadi bagian dari pendidikan karakter.

Menuju Indonesia Berliterasi

Beberapa penulis telah banyak menghubungkan literasi dengan ekonomi, literasi dengan politik, serta literasi dengan perubahan sosial. Negara berkembang seperti Indonesia banyak mengalami kendala tentang kependudukan. Mulai dari pertumbuhan penduduk, kemiskinan, kriminalitas, dan kasus SARA. Kekuatan politik dan ekonomi yang telah diusahakan dengan pergantian kepala negara dan berbagai kebijakannya selama ini masih belum mampu merubah wajah negeri yang menyandang gelar gemah ripah loh jinawi ini. Mungkin benar, bahwa perubahan sosial harus dilakukan dengan literasi.

Berikut beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjadikan Indonesia berliterasi:

  1. Memahami literasi sebagai hak dan kapabilitas setiap individu
  2. Refleksi diri dalam merubah budaya keluarga
  3. Melakukan pola komunikasi yang bagus guna menstimulus kesadaran masyarakat untuk berperan aktif
  4. Menjadikan “pendidikan” sebagai motor penggerak literasi
  5. Bergabung dan berjejaring dengan komunitas atau lembaga yang memiliki visi dan misi tentang literasi
  6. Menjadikan “Kerelawanan” sebagai puncak karir tertinggi

 

___________________________________________

ACHMAD IQBAL

Dosen,  Pengelola Rumah Baca Arkara, dan relawan rumah literasi indonesia

Comments are closed