Oleh : Mohammad Hasyim

        Sepekan terahir dunia pendidikan Banyuwangi terguncang. Adalah MR  (11tahun) meninggal dunia secara tragis. MR, ( sebagaimana diberitakan di banyak media online ) , bocah pelajar sebuah SD di kecamatan Pesanggaran nekat mengahiri hidupnya dengan cara gantung diri di pintu dapur rumahnya.  Sempat dibawa ke klinik kesehatan setempat, malang tak bisa ditolong. Sebuah kematian abnormal yang  belum selayaknya dialami  oleh bocah sebelia dia. Kasus Kematian yang sama –  meski beda sebab, terjadi pula dua tahun silam.   Seorang bocah pelajar sebuah SD ( 12 tahun ) di kecamatan  Kalipuro juga meninggal dunia dengan  cara gantung diri ( Hasyiim, Cegah  Dini  Bunuh Diri Anak, Berita Nasional, 21 Juli  2021).

       Jika kasus yang menimpa pelajar  SD di Kecamatan Kalipuro disebabkna  tak tepenuhinya permintaan sang bocah karena   keterbatasan ekonomi orangtua, kasus yang menimpa MR tersebab prilaku sosial sebaya, bullying.  Sebuah bentuk  kekerasan, penindasan atau perundungan yang  dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

       Pelaku bullying    umumnya memiliki kekutan atau kekuasaan lebih , sementara korban bullying rata-rata adalah pihak/ orang yang lemah.  Tindakan ini (bullying) umumnya dilakukan tidak hanya sekali, tetapi  terus menerus dan bertujuan  untuk menyakiti seseorang.  Sebuah prilaku agresif yang menyebabkan korbanya terluka atau merasa teraniaya baik phisik maupun mental.

        Bullying tidak saja berdampak pada munculnya perasaan tidak nyaman, tapi juga gangguan sosialisasi pada diri korban,  hingga yang paling ekstrim adalah tindakan bunuh diri.   Pada kasus anak-anak bullying bisa berdampak pada penurunan harga diri, hilangnya minat belajar, hilangnya selera makan, perubahan pola tidur, menurunya prestasi belajar, hingga hilangnya minat terhadap kegiatan yang disukai.

       Belum samapai pada bentuk  agresi relational  ( bentuk lain  bulying satu level diatas bullying verbal),  yang dialami MR adalah  bullying verbal.   Teman sebaya mengolok-ngolok kekurangan MR  ( anak yatim, tidak berayah ). Akibat aksi olok-olok ini (bullying verbal)  mental  MR  jatuh. Ia  sedih,  dongkol, sakit hati,  meratapi diri, menangis setiap kali pulang sekolah, MR depresi.

    Suasanna hati yang kacau,  – siapapun orangnya – rentan terhadap tindakan irasional, nekat, dan tidak sedikit berahir pada kematian dengan cara-cara yang tidak wajar. Bagi MR, bullying  –  sungguhpun  hanya verbal – menjadi beban mental sangat berat dan menekan. Hal ini sangat  dimaklumi  mengingat bocah seusia MR belum  memiliki kesadaran rasional,  penegndalian  emosi,  kecakapan mental dan sosial lazimnya orang dewasa kebanyakan. Ia ((MR) dibesarkan dalam keluarga single parent.    

         Ironisnya tindakan itu dilakukan oleh teman sebaya MR, di lingkungan terbatas yang  harusnya steril dari tindakan kekerasan ,  sekolah ! .  Jika ini benar, maka kasus ini juga membuka tabir kebenaran bahwa anak-anak seusia MR (  baca :   SD) lingkungan sosial mereka belumlah bernjak jauh dari tiga poros utama , rumah, sekolah dan teman sepermainan.  

        Jika sekolah dan kedua lingkungan lainya sudah tidak lagi nyaman bagi anak anak tentu ini sangat memprihatinkan,  merisaukan , membahayakan ! Harus di cegah, kita  harus jadikan bullying  musush bersama. Kita kejar, kita tangkap, kita kurung “hantu bullying” agar tidak lagi bergentayangan  dan menghantui anak-anak.   Bullying, disamping bisa merugikan orang lain, juga pelakunya  bisa terkena jerat hukum.

        Mengatasi bullying di sekolah ?  Pertama,  lakukan deteksi dini kemungkinan terjadinya tindakan bullying. Kedua, buatlah peraturan  tentang bullying dan sosialisasikan kepada seluruh warga sekolah, Ketiga, perhatikan dan berikan dukungan pada diri korban. Keempat, berilah contoh atau teladan  yang baik kepada siswa, kelima, temukan pelaku,cegah  dan hentikan prilaku buruknya, Keenam, ajak  dan  ajarkan kepada siswa untuk bersama-sama melawan bullying.

        Melawan bullying ?,  pertama, tingkatkan kesadaran diantara anak-anak bahwa tindakan tersebut berbahaya dan merugikan diri sendiri juga  orang lain.  Kedua, tekankan prilaku baik, respek, empati kepada sesama, raih prestasi bersama  di sekolah, dan Ketiga, berilah latihan kepada guru dan tenaga kependidikan lainya  tentang cara efektif mencegah dan mengatasi bulying.

      Melihat semakin maraknya prilaku bullying dan  rentanya anak-anak ( yang lemah ) terhadap tindakan bullying di sekolah, sudah saatnya pemerintah  – Dinas Pendidikan setempat menghadirkan seorang guru konselor yang bisa memberikan layanan konseling sebagaimana layanan yang sama dirasakan oleh kakak – kakak klas mereka di SMP, SMA maupun SMK.

      Dewan Pendidikan kabupaten setempat mengambil inisiatif,  mendorong pihak-pihak terkait  duduk bersama merancang sebuah rencana dan tindakan nyata mengatasi kekerasan  di sekolah (bullying) . Perguruan Tinggi stempat  –  yang berlabel  LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) bisa menjadikan persoalan ini bahan irisan di kurikulm  inti program studi  ( core curriculum)   hingga mahasiswa memiliki kompetensi plus bidang layanan konseling berbasis bullying. Sementara  para dosen , bisa – juga mahasiswanya  di semester ahir memanfaatkan ceruk ini sebagai  medan melakukan pengabdian masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata berbasis parenting.

 Semboyan  Kabupaten ramah anak, sekolah ramah anak saatnya diimplementasikan dalam tindakan nyata, bukan lagi sekedar slogan.

___________________

         Mohammad Hasyim, Pengurus Dewan Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, mengajar di IAI Ibrrahimy Genteng banyuwangi.

#

Comments are closed