Salah satu hikmah dari munculnya wabah Covid-19 ini adalah kembalinya peran keluarga dalam mendidik anak. Sekolah yang terpaksa harus libur sementara membuat setiap orangtua di rumah harus berperan menjadi guru dan teman belajar. Namun tidak sedikit juga dari orangtua mengalami kendala dalam mendampingi anak setiap harinya untuk terlibat menyelesaikan tugas belajar buah hatinya.
Pandemi yang telah berlangsung selama 3 bulan lebih ini mengajarkan banyak hal penting kepada kita, untuk menjadi individu yang memiliki imunitas yang kuat, perlu daya dan upaya yang berkelanjutan. Sebab, tidak hanya imunitas dari sisi kesehatan fisik dan mental saja namun yang tak kalah penting juga tentang imunitas sosial.
Istilah New Normal yang digaungkan oleh pemerintah, para pakar dan ahli di berbagai media, semacam jadi solusi saat masa pandemi. Namun apakah gaya hidup baru ini sudah cukup dipahami oleh setiap warga? Apakah benar New Normal ini mampu menjadi jawaban atas upaya untuk mengembalikan keadaan menjadi lebih baik?
Menurut survey dari Yayasan Rumah Literasi Indonesia, dari 20 orangtua/walimurid PAUD Sahabat Kecil dan Rumah Baca, 90% orangtua mengalami kesulitan dalam mendampingi anak-anak belajar dirumah, 85% punya kendala soal akses internet, 25% tidak memiliki perangkat/gawai pintar untuk belajar online. Lalu ditegaskan lagi melalui wawancara mendalam dengan 10 anak-anak rumah baca, dan hasilnya 90% anak-anak mengalami kebosanan belajar di rumah.
Berkiblat dari survey tersebut, kami melihat tidak semua keluarga siap menjadikan rumah sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Kondisi semacam ini menjadi badai masalah tersendiri bagi orangtua yang selama ini memasrahkan urusan pendidikan anak hanya kepada sekolah.
Sepertinya kita masih punya PR panjang untuk membangun paradigma pendidikan yang lebih membebaskan dan memberdayakan, atau jika meminjam istilah Mas Menteri Pendidikan dengan konsep merdeka belajar. Dimana kemandirian belajar terus tumbuh di setiap keluarga, termasuk memiliki kesiapan ketika bencana melanda.
Di dalam kontruksi masyarakat yang beragam ini, konsep New Normal tentu perlu diuji lebih dalam lagi. Sebab, bisa jadi konsep semacam ini masih belum relavan bagi sebagian kelompok masyarakat. Apalagi kesenjangan pendidikan masih dirasakan cukup tinggi. Belum lagi kita melihat tingkat literasi masyarakat yang masih menunjukkan nilai yang merosot. Tak heran jika sebuah bangsa yang literasinya rendah akan berpotensi menghasilkan sikap, perilaku dan tindakan yang gagap saat menghadapai kondisi pandemi atau sebuah bencana.
Masih segar ingatan kita di awal sebelum kasus pertama ditemukan di Indonesia. Bagaimana sikap pemerintah yang acuh dan menganggap sepele wabah Covid-19 ini meskipun WHO sudah memberikan alarm buat Indonesia. Alhasil, sejak tanggal 2 Maret hingga tulisan ini ditulis sudah ada 31.186 kasus terkonfirmasi positif.
Mirisnya, diawal sebelum kasus ditemukan, pemerintah justru memberi diskon tiket penerbangan murah bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke Indonesia. Sektor pariwisata justru makin digeber promosiknya demi mengamankan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
Yang menarik juga, saat ini di Banyuwangi melalui Dinas Pariwisata sedang mempersiapkan destinasi wisata berkonsep New Normal. Ada 8 destinasi wisata percontohan, diantaranya Bangsring Underwater, Pulau Tabuhan, Pulau Merah, Taman Nasional Alas Purwo, Jawatan, Cacalan, Watu Dodol, Waru Mustika. Jika delapan destinasi ini sukses, pemerintah Kabupaten Banyuwangi, baru akan dipikirkan untuk membuka destinasi lainnya.
Kita semua tentu sepakat soal upaya pemerintah untuk menumbuhkan kembali ekonomi yang mengalami keterpurukan melalui sektor pariwisata. Hanya saja, kita masih melihat melihat kebijakan pemerintah ini belum cukup adil, sebab kebijakan yang diambil belum banyak berpihak dari sudut pandang anak-anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan sejumlah orangtua siswa yang menyatakan bahwa anak-anak mengalami stress. Faktornya tentu beragam, mulai dari tugas yang menumpuk, mekanisme belajar jarak jauh serta kesiapan orangtua untuk menjadi teman belajar bagi anak yang masih sangat kurang.
Harusnya, jika Banyuwangi sempat meraih penghargaan menjadi Kota Layak Anak (KLA), berbagai program yang dirancang untuk mendukung pemenuhan hak anak harusnya melihat dari kebutuhan yang ada saat ini. Sehingga, layanan dari perspektif anak benar-benar dirasakan manfaatnya hingga ke akar rumput.
Comments are closed