Masih segar di ingatan, Agustus 2017 kemarin. Sindikat berita Hoax dan ujaran kebencian (Hate speech)  ditangkap. Baru baru ini, (diduga) sekelompok MCA (Muslim Cyber Army) ditangkap (mengapa di duga karena banyak yang mengaku bahwa MCA itu bukan organisasi tidak memiliki ketua,  sedangkan di media mainstream MCA adalah sebuah organisasi yg memiliki struktur lengkap,  manakah yang benar? Penulis juga tidak tahu, kita serahkan semuanya pada ahlinya), buru buru lalu kita simpulkan KITA DARURAT HOAX! HAJAR! HANTAM! Tunggu dulu,  minum teh hangat dulu biar tidak mudah terbakar.

Darurat Hoax

Hoax memang menjadi momok buat semua orang, Hoax adalah sebuah alat penyesatan informasi, penggiringan informasi, dan penutupan kebenaran informasi. Bayangkan dengan modal Hoax orang bisa berubah sudut pandangnya terhadap sesuatu. Misal beredar video Hoax tentang telur palsu. Sedang viral video orang sedang mengemas putih telur (semacam tepung gitu)  ditaruh dalam plastik berbentuk oval (padahal, video telur yang beredar itu hanya proses pembuatan telur mainan atau egg slime)  disandingkan dengan video yang diduga palsu beserta review seseorang yang menjudge bahwa telur itu telur palsu hanya dengan melalui pengamatan, tanpa melalui pengecekan lab, atau pemeriksaan lanjut. Sialnya, postingan semacam ini membuat orang terpicu (trigger)  untuk membagikan ke teman teman dekatnya, seolah bisikin ke telinga temennya “Hati hati,  sekarang banyak telur palsu”. Dengan bumbu bumbu penyedap judul yang agak menggugah perasaan seseorang untuk tergerak membagikan,  akhirnya teman temannya ikut membagikan.  Singkat cerita,  viral lah berita bohong itu.

Teringat kata kata ust. yusufp mansyur di e talk show, edisi tanggal 15 desember 2017,

Begini, Indonesia ini melewati fase baca. Jadi harusnya, Indonesia masuk menjadi bangsa baca dulu, habis itu kemudian sosmed.

Banyak yang terlewat di Indonesia ini,  fase membaca. Belum tuntas soal membaca, sudah digempur gawai murah. Apa yang dikatakan Ust. Yusuf Mansur sejalan dengan beberapa penelitian, yaitu menurut PIRLS, tingkat literasi indonesia berada di deretan Tiga negara terbawah,  tidak hanya itu indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001 artinya dari 1000 orang hanya 1 orang yang suka membaca (UNESCO). Ada info yang mencengangkan juga,  70% penduduk jakarta usia 16-65 hanya mampu memahami topik bahasa tanpa memahami struktur kalimat atau paragraf (OECD, 2016).  Miris ya, ibukota yang notabene menjadi ukuran orang literat malah data menunjukkan rendahnya Tingkat pemahaman seseorang tentang suatu bacaan. Lantas bayangkan bagaimana yang ada di pelosok pelosok negeri ini,  belum sempat paham tentang bacaan sudah diserang gawai, yang isinya berita hoax yang notabene judulnya sangat menggugah kita ‘seolah olah’ berita itu benar. Sungguh, jika itu sebuah lahan bisnis, maka akan jadi bisnis yang laris. Marketnya ada, barang yang dijual pun siap. Klop.

Berita Hoax vs Berita Pesanan

Itu soal berita bohong ya, adalagi nih Berita Benar tapi digunakan alat penyesatan informasi, penggiringan informasi, dan penutupan kebenaran informasi. Berbicara soal berita bohong tentu tidak adil kalau tidak berbicara tentang bicara berita dari ‘Media pesanan’. Ternyata tidak hanya berita bohong yang bisa digunakan alat, berita benar dari media pun sangat bisa digunakan sebagai alat.

Berita benar sudah menjadi remote tv,  tergantung siapa yang memegang, yang bisa dikendalikan, bisa dikontrol sesuka hatinya. “Enggak ada media massa yang tidak memihak.  Kalaupun ada, adanya di surga,” kata Agus Mundzir,  seorang produser berita malam salah satu Tv swasta.   Ia mengatakan bahwa Tv tsb juga meliput kegiatan pemiliknya. Yang penting, katanya, ada unsur news-nya. Apa saja unsur news itu?  “Mengerjakan sesuatu untuk publik; punya agenda politik yang sama dengan politisi lain, ” jawab Mundzir. Seringnya isi pemberitaan yang dikontrol oleh pemilik media juga pernah dialami Dandhy Dwi Laksono saat ia masih bekerja di salah satu tv swasta. Ia adalah mantan Kepala Peliputan tv swasta tsb. Dandhy memutuskan berhenti dari pekerjannya. Prinsip jurnalisme, apalagi Kode Etik Jurnalistik,  sudah tak mendapatkan tempat di tv, katanya. Rapat redaksi sudah tercemar oleh berita-berita pesanan. Reporter hanya melaksanakan apa yang disuruh atasan. “Saya nggak ngerti [bagaimana bisa ] mereka masih mengaku wartawan;  bekerja dengan keadaan seperti itu, ” kata Dandhy. (Indah wulandary,  panggil aku wartawan dalam buku Orde Media, hal 39-40, 2015).

Jadi untuk menyikapi berita bohong ataupun berita benar di media mainstream jangan terlalu serius dan menganggapnya seolah olah gawat,  kata anak reagge slow man. Berfokus saja untuk berkarya yang bagus, hanya itu yang bisa kita lakukan untuk membuat kita jadi lebih produktif, daripada hanya menghujat, menyebarkan yang membuat perpecahan. Intinya,  jangan ditelan mentah mentah apapun yang ada di dunia maya,  olah lagi sebelum di bagikan ke khalayak umum,  pikir lagi sebelum di sebarkan di khalayak umum. Apakah benar benar bermanfaat? Kadang berita benar pun tidak memiliki asas manfaat untuk masyarakat,  jadi stop untuk berbagi soal berita benar.  Tidak semua berita benar itu bermanfaat. Abaikan berita bohong,  berita sampah jangan habiskan waktu untuk membaca berita yang tidak jelas kebenarannya. Ambil bukumu,  baca sebanyak banyaknya, agar luas dan terbuka pikiran kita.

Cari minat kamu, kemudian cari buku tentang minat kamu, niscaya kamu tidak akan merasa ngantuk. Indonesia lebih darurat membaca, daripada hoax atau berita pesanan.  Jika literasi masyarakat sudah bagus, cara berfikirnya pun sudah mulai bagus, maka insyaallah tidak akan mudah terpicu oleh hal hal receh.

Menurut teman teman,  kita sebenarnya darurat apa sih?  Apa kita darurat tepuk semangat yaa???  Hihihi.  Tepuk semangat!

Salam literasi Indonesia.

Pantang Tanya Sebelum Baca.

___________________________________________

Rahmadinata Syafa’at S.SI

Pengurus di Rumah literasi Indonesia divisi Media dan Informasi yang kebetulan menjadi Staff Desa di desa literasi ketapang.

Comments are closed