Bagi dunia pendidikan nasional, Merdeka Belajar : Kampus Merdeka (MBKM) adalah momentum sekaligus simalakama bagi Perguruan Tinggi (khususnya Program Studi). Sebagai Momentum, maksudnya adalah MBKM dilihat sebagai terbukanya kesempatan untuk belajar dengan beban birokrasi yang dirancang efisien.

Niat baik Kemenbud dan Dikti harus diapresiasi dengan mengoptimalkan dukungan. MBKM bisa menjadi Simalakama, karena bila diikuti butuh perjuangan untuk terus berinovasi agar tidak tumbang karena kompetisi, disisi lain bertahan dengan apa adanya hanya akan mempercepat lonceng kematian institusi. Sangat dilematis memang, terutama bagi PT yang prodi prodinya tidak mengerti, tidak mau atau lambat bersiap menghadapi perubahan dan masih asik di arena nyaman (death zone).

Kenapa demikian? Karena Dalam Praktek MBKM, Peraturan telah memberi kesempatan hingga 60 SKS untuk pembelajar memanjakan instink ekplorasinya. Karena sudah di atur maka wajib dipenuhi jika yang bersangkutan memintak hak konstitusionalnya. Mahasiswa berpeluang menggunakan hampir separuh masa studi untuk memilih.

Apa artinya? Jika Prodi prodi sebagai ujung tombak PT yang bertanggungjawab dalam mengawal urgensi Keilmuan masing masing tidak mempersiapkan diri untuk menawarkan yang layanan yang terbaik, bukan mustahil cepat atau lambat di paruh masa studi sebagian dari mahasiswa akan memilih memasuki arena belajar yang diselenggarakan oleh prodi bahkan PT lain.

Konsekuensinya? Tentu tidak sederhana. Prodi yang tidak kompetitif, pada akhirnya hanya bisa nonton banyak ruang kuliah kosong tanpa penghuni, apa tidak miris melihat anak anak justru bahagia bersama orang tua yang lain? PT Besar seperti UGM, UI, ITB dan IPB tidak mungkin tinggal Diam, bahkan bisa menang banyak karena sejarah, fasilitas, jaringan, kredibilitas dll akan lebih banyak dikejar oleh pembelajar nusantara. Ancaman? Pasti. Disinilah seleksi alam bekerja, Prodi Progressif akan Serius berinovasi.

Prodi Julid? hanya bisa memainkan politik kuota agar insentif mengajar para karyawannya aman. Jika merata semua prodi dalam lembaga tak bersinergi bergerak, maka PT pada akhirnya terancam dibubarkan dan gedung gedungnya jadi arena uji nyali dan shooting “Uka-Uka”. Jika tidak disadari, akan bermunculan prodi prodi dan PT PT Julid dalam merespon dan melawan perubahan dengan bersekongkol membuat mendesak pembubaran kebijakan MBKM. Jika Pemerintahnya juga Julid ya “Klop”, dan penjajahan di atas dunia (pengetahuan) tak jadi dihapuskan. Ironi bukan? Mudah-mudahan tidak.

Sudah waktunya penyelenggara layanan pendidikan waspada dengan Generasi Z, generasi yang hidup di zaman sejuta wifi gadget kecepatan tinggi. Generasi dengan limpahan informasi dan pilihan, dimanja kemudahan teknologi dan berpikir besar karena terbiasa dengan logika big data.

Satu sisi, Mereka Secara personal juga dikenal cenderung mudah complain (baper), kuriositas tanpa batas (kepo abis), penantang bahaya (generasi pikir belakangan yang penting eksis), fast respons minded (5G Fever), gak mau ribet (Loss Dolll) dan pemburu kebebasan.
Mereka semua tidak lain adalah konsumen/pengguna dominan layanan pendidikan di masa kini dan mendatang. Tanpa mereka, siapa yang akan sekolah dan kuliah?

Dalam logika layanan, konsumen adalah Raja, bayangkan kalo rajanya karakternya seperti di atas? Bisa jantungan kalo nggak siap. Saat ini mungkin bebarapa PT masih merasa aman karena generasi mahasiswa yang sekarang kuiah masih sebagian korban hegemomi sekolah dengan sikap mental subaltern akut. Tapi MBKM kan bukan workshop kelas renja kecamatan, Kebijakan ini adalah bagian dari Strategi Ketahanan (dan Keamanan) Nasional yang dicanangkan untuk jangka panjang.

Pendidikan tidak bisa dilihat sebagai sektor tunggal yang berdiri sendiri, karena ia berhubungan dengan mutu sumber daya manusia. Baik buruk nya proses dan hasil pendidikan jelas berdampak pada kualitas dan kedaulatan yang lebih besar dalam berbagai bidang. Kita semua akan tua, mereka mereka juga yang akan mengambil alih peran dan posisi strategis di masyarkat. Jika salah kelola, ya harus rela dipimpin oleh generasi salah asuh. Jika Lembaga Pendidikan tidak beradaptasi, Pada saatnya (cepat atau lambat) Generasi z ini akan menjadi tsunami dan banjir bah yang mengancam institusi yang bertahan dengan status quo. Generasi Zaman akhir ini tak segan menggiling dan menggulung lembaga apasaja termasuk pendidikan yang arogan dan Ortodox.

Generasi ini bukan tidak mungkin pada saatnya menyadari yang sebenarnya terjai, lalu bergelombang gelombang meninggalkan semua system yang sudah mapan yang tak bisa mengimbangi kecepatan perubahan era Artificial Inteligence (AI) tanpa ampun. Baik ditinggalkan menuju lembaga yang lebih siap dan lebih baik, biasanya sih produk asing hahaha, ataupun meninggalkan dalam arti melarikan diri ke sudut sudut penyesalan ditemani narkoba dan miras (yang konon akan digalakkan investasinya) karena tak tahan disergap frustasi lahir dan bathin. Pertanyaannya, Apakah PT sudah siap bergaul dan merebut hati mereka?

Di era pasar merdeka (bukan sekedar bebas tapi tak bertanggungjawab), agar tetap eksis dalam panggung kemanfaatan, menjadi otentik adalah kunci. Tak bisa lagi mengandalkan ilusi favorisitas, karena sejarah dinamis dan pengetahuan tak punya zonasi geografis. rangking tak berguna, karena yang dibutuhkan adalah solusi kongkrit. Pamer gedung tak lagi menjual, karena alam dan masyarakat menawarkan varian tanpa batas. Pada akhirnya, PT yang bertahan adalah PT yang punya gagasan, menawarkan ciri khas, menyuguhkan pengalaman, memberikan ruang aktualisasi bagi pembelajar untuk menjadi seutuh utuhnya manusia (ada instink, akal, rasa dan jiwanya).

Bekerjasama adalah kunci penting berikutnya, prodi prodi harus berani mengevaluasi kembali perangkat pembelajarannya. Menanggalkan ego matakuliah dan budaya jatah menjatah diantara pengajarnya. Membuka mata dan nurani lebih lebar melihat potensi dan gerak perubahan zaman. Melihat lebih esensi tujuan pendidikan, terbuka untuk belajar pada orang lain. Lalu merefleksi, membuat proyeksi dan merancang inovasi, agar ada sinergi untuk kemajuan negeri. Berani mengoreksi diri, menghapus arogansi institusi, berbesar hati bersama masyarakat merawat dan membesarkan anak anak pertiwi.

Merancang skema pembelajaran, penelitian dan pengabdian yang sarat kreatifitas dan mampu mendongkrak motivasi diri. Aktif menjadi bagian dari proses perubahan yang terjadi. Tak segan berpartisipasi dengan segenap kemampuan yang bervariasi. Terampil menggandeng mitra dengan efektif berkomunikasi (silaturahmi), lapang mengapresiasi karunia alam dan saudara sendiri. Berorientasi karya yang dikerjakan secara kolaborasi, lintas sector, lintas pelaku dan lintas perguruan Tinggi.

Merkeda, eh Merdeka !

Penulis : Nurul Hidayat, Founder Kampoeng Merdeka Belajar

#

Comments are closed