Selama sekolah atau kuliah masih identik dengan gedung dan fasilitas, SPP dan favorisitas akan tetap ada. Akhirnya mahasiswa sibuk mengejar nilai, sertifikat, dan presensi. Apapun dilakukan, termasuk jika harus bertentangan dengan akal sehat dan mengelabuhi nurani.
Diakhir studi baru disadari, bahwa toga dan sertifikat tak banyak menolong atau berfungsi. Tekanan sosial sudah terlanjur meninggi, mau buka usaha gelar sarjana bikin gengsi. Jika Tak langsung bekerja, bibirtetangga sudah siap-siap jurus membuli. Kalau ada biaya dari orangtua mungkin masih bisa melarikan diri dengan kuliah lagi. Yang pas pasan? Hanya tersisa tali tampar dan CD film horror yang berubah jadi tutorial bunuh diri.
Spirit Merdeka Belajar mempersilahkan (walau tidak 100% dan itupun optional) Peserta Didik untuk mengejar apa yg hakiki dibutuhkan yaitu ilmu, kharakter, pengalaman dan modal jaringan (konsep kecerdasan abad 21) pada siapapun, tentang apapun, dimanapun, dan dengan methode apapun. Asalkan memfasilitasi untuk berwawasan dan berkeahlian yang dibutuhkan untuk survive, berkembang dan bermanfaat bagi perubahan di masyarakat.
Toh pada akhirnya jika sudah lulus, di tempat kerja (kalo ada yg mau) yang utama dievaluasi adalah kecakapan dan kinerja SDMnya. Dokumen pendidikan mungkin hanya membantu di pintu masuk, kadang masih harus barengi amplop. Perusahaan yang sehat pasti akan berhitung kinerja kalau tidak mau bangkrut. Pada akhirnya, Dalam berwirausaha, mental dan daya juangnya yang menentukan, sebanyak apapun modal kalo managemen usahanya amatir, ya tinggal menghitungjari, pasti digulung tikarnya.
Lembaga “Plat Merah” mungkin pengecualian walaupun tidak semua. Dalam beberapa kasus karyawan tidak produktif tetap dipertahankan karena alasan yang tak rasional. Tapi mari sedikit peka atas karmanya yang begitu mahal, hingga hari sdh hampir seabad merdeka indonesia tetap tak bergerak prestasinya, hutang nambah terus, olahraga kawasan keok, Daya saing kerja international masih didominasi tenaga kasar, mata uang nasional dilecehkan dipasar global, teknologi cuma jadi target pasar asing, SDA dijual mentahan, Kesehatan? Hehehe silahkan diimajinasikan sendiri, soalnya saya belum divaksin.
Prinsipnya, jika wawasan, Life-Skill, sikap mental dan kepercayaan jaringan yang dijadikan orientasi utama proses belajar, gedung tak kan lagi banyak dibutuhkan. Karena laboratorium yang lebih lengkap ada di luar kampus berupa lahan pertanian, tambak, segala jenis usaha kecil maupun korporasi, kegiatan sosial, praktik belajar, proses demokrasi, penegakan hukum hingga rekayasa teknologi energi.
Memfungsikan setiap entitas dalam masyarakat sebagai sarana belajar, pemilik atau pengelolanya sebagai pendamping belajar akan memberikan lesson learn dan best practice yang kampus biasanya tidak punya. Melalui berkolaborasi dengan masyarakat dalam belajar, akan banyak meringankan tugas kampus untuk transfer pengetahuan.
Bila demikian, uang pada akhirnya perlahan akan hilang kemampuan daya bajaknya secara signifikan. Yang biasa digunakan untuk memotong durasi layanan birokrasi, mendapatkan layanan prioritas, pelicin untuk dapat/naik jabatan, hingga sekedar mendapatkan pengakuan publik.
Kenapa? Karena pada akhirnya jika niat, proses dan tujuan belajar sudah benar, maka masyarakat terutama anak muda, orang tua dan pengusaha sama-sama menyadari bahwa pendidikan itu investasi. Yang bila ingin terus tumbuh dan berbuah kemanfaatan harus dirawat, dikawal dan jaga langsung, bukan sekedar konsumsi komoditas yang akan lebih banyak turun nilainya seiring perubahan tempat, waktu dan invasi trend terbaru.
Dengan kata lain ilmu, skill dan pengalaman tak bisa dibeli apalagi diwariskan, tapi harus dijalani, diusahakan diasahkembangkan dan dijagapelihara sendiri oleh yang bersangkutan. Kesadaran semacam ini akan mendorong orang berhamburan ke luar dari gedung-gedung. Sebab seutuh-utuhnya ilmu (bukan sekedar data dan informasi) justru ada dalam kehidupan yang sedang berjalan.
Gambaran visualnya kira-kira adalah dengan merdeka belajar setiap tempat akan jadi arena belajar, setiap orang bisa belajar sekaligus mengajar, dan setiap yang kita temui hakikatnya berisi banyak pengetahuan. Hanya tinggal mau disyukuri, dikelola dan dimanfaatkan atau tidak?
Dengan seperti itu, kampus denga tarip SPP mahal akhirnya kurang relevan karena pembiayaan tak lagi tersentralisasi, tapi langsung ditransaksikan dalam proses belajar bersama masyarakat. Disinilah keunggulan Merdeka Belajar : Kampus Merdeka, dana tidak bersirkulasi diranah terbatas, imajiner dan elitis (misal: dalam bentuk pendanaan hibah, workshop yang hanya menghasilkan draft) tapi justru beredar ke sektor riel usaha-usaha milik masyarakat dalam menunjang kebutuhan belajar mahasiswa di lapangan, dan mampu menumbukan kegiatan ekonomi baru di akar rumput yang selama ini menjadi kubangan kemiskinan dan kriminalitas.
Satu lagi, favorisitas kelembagaan juga berpotensi tamat, karena institusi seperti kampus dan sekolah pada akhirnya hanya lebih banyak berfungsi sebagai organizer, administrator yang mengartikulasi sumberdaya kampus dan Local Genius di masyarakat. Sementara eksekutornya dilapangan adalah kolaborasi akademisi kampus, relawan penggerak dan Local Agency yang ada.
Saat ini apa mungkin tercapai? Kok kayak mustahil? Memang, pendidikan setara sebagai kegiatan belajar sekaligus mengabdi, bermanfaat dan menjadi bagian langsung perubahan. Hanya mungkin terjadi, jika peserta didiknya mengerti apa yg sebenarnya dibutuhkan, pihak yang berewenang memberi dukungan dan masyarakat usaha turut berperan dalam megaproyek pendidikan yang mencerdaskan.
Tapi, selama pihak-pihak terkait masih belum bisa melepaskan diri dari bahaya mabuk dokumen, gemerlapnya seremonial, kecanduan branding dan citra, ya susah akan merdeka, baik sebagai individu maupun kolektif sebagai bangsa.
Merdeka Belajar : Kampus Merdeka adalah momentum, masa depan pendidikan adalah masa depan generasi juga pada akhirnya, keluar dari zona nyaman. Melelahkan memang, tapi menjadi bangsa yang tak berdaulat lebih menyakitkan. Finally, Those who survive are not those who are the biggest nor the strongest but those who are most adaptable to change (Darwin).
MERDEKA !!!
Penulis : Nurul Hidayat, Founder Kampoeng Merdeka Belajar
Comments are closed