Oleh: Achmad iqbal
(Dosen universitas 17 Agustus 1945 banyuwangi)
Agustus adalah bulannya rakyat Indonesia. Tahun ini, tepat 74 tahun Negara tercinta ini lepas dari belenggu penjajah menuju kemerdekaan. Soal benar-benar “merdeka” atau tidak itu dibahas dilain waktu saja.
Agustus di Indonesia memang sangat spesial. Setiap tahunnya pernak-pernik khas agustusan mulai menghiasi semua pelataran. Seperti pagi ini, 1 Agustus 2019 saya dan tetangga sekitar rumah mulai bersolek. Pak RT setempat bahkan rela nyambangi rumah warganya untuk mengingatkan agar tak lupa memasang umbul-umbul, bendera, dan hiasan lainnya. Walau tak etis memang menilai nasionalisme seseorang dari apakah ia memasang bendera atau tidak saat agustusan. Namun, minimal dari hal sesederhana itulah kita mengetahui bahwa bangsa besar ini masih dihuni oleh warganya yang sangat mencintai bangsanya sendiri.
Ternyata negara tetangga kita juga tak jauh dengan Indonesia ketika merayakan kemerdekaannya. Sebut saja Myanmar dengan lomba perang bantalnya, Papua Nugini dengan lomba Rugby, Lomba Perahu di Australia, dan bahkan ada lomba layang-layang di India. Begitu banyak cara masyarakat di Dunia merayakan kemerdekaan bangsanya. Apa salah? Tentu saja tidak. Itu tradisi dengan kearifan lokal. Indonesia lebih beragam lagi, ada panjat pinang, memasukkan paku dalam botol, makan kerupuk, tarik tambang dan bahkan terdapat beragam inovasi lomba yang belakangan berkembang.
Ditengah sibuknya kita mempersiapkan segala acara agustusan ini, ijinkanlah tulisan ini menjadi pemantik melihat agustusan dari sudut pandang yang berbeda. Bicara tentang Agustusan, bagi generasi 90’an dan sebelumnya, mungkin perlombaan yang biasa dijumpai kala 17-an memang sesuatu yang membumi dan asik untuk diikuti. Namun, hari ini? Generasi sudah berubah. Teknologi sudah merubah pola sosial bermasyarakat. Di tempat saya, lomba makan kerupuk mayoritas diminati oleh anak-anak sekolah dasar. Remaja cenderung menghindari lomba-lomba semacam itu karena merasa sudah dewasa dan tidak waktunya. Padahal dulu, ketika saya kecil, lomba macam itu pesertanya masih remaja dan dewasa. Bukan tentang malu dan tidak tapi lebih memeriahkan acara.
Inovasi dan uji coba perlu dilakukan. Maka tak heran ada berbagai lomba yang berbeda dari tahun sebelumnya. Mobile Legend misalnya. Hal ini dilakukan untuk mengajak generasi millenial aktif memeriahkan acara 17an. Panitia agustusan harus selalu putar otak. Membuat konsep acara dan manajemen dana agustusannya. Hal ini fardu dilakukan mengingat dana kegiatan agustusan tidak sedikit dan perlu dipertanggungjawabkan.
Melihat fenomena yang mengarah pada perayaan dan perayaan, pemikiran awam ini justru kadang terlintas “Apakah iya, merayakan kemerdekaan hanya begini saja?” Jika sudah berdasarkan “dana” dan tujuannya meriah, “apakah iya, mengisi kemerdekaan hanya sereceh ini saja?”. Jika saat ini 74 tahun merdeka dan kegiatannya sama, “apakah iya, bahkan 100 tahun merdeka nanti juga begini saja?” Mungkin terlalu berlebihan, tapi…
Agustusan adalah momentum untuk kembali mengoreksi nasionalisme, kembali membenahi tujuan bersama, dan kembali mewujudkan cita-cita bangsa. Karena tugas itu bukan tugas pemerintah semata. Agustusan harusnya lebih dominan rasa syukur dan muhasabah. Berhenti mengajari masyakarat untuk menciptakan festival tanpa upaya berkelanjutan. Berhenti. Masyarakat harus diupayakan sadar tentang posisinya ditengah perkembangan saat ini. Jika ukuran kemajuan hanya diukur dari berhasil atau tidaknya menciptakan festival, maka khawatir saja jika nanti generasi penerusnya hanya pandai mengkoordinir acara. Takut saja jika nanti mereka bergerak menunggu dana dan dana.
Cintai negeri dan bangsa ini secara utuh. Jika kau berfikir nasionalisme hanya diukur dari keikutsertaanmu dalam berbagai lomba agustusan, maka hal itu harus di koreksi ulang. Bahwa mencintai Indonesia harusnya kamu menjadi agen perubahan. Mencintai indoensia bukan karena ada dana dan harus berbuah festival. Bahwa mencintai Indonesia itu dilakukan sepanjang hayat tak sebatas 1-31 Agustus saja. Berpesta dan merayakan boleh, asal selepas merayakan harus berfikir bagaimana menjadi agen yang baik. 10 Pemuda yang disebut Bung Karno bisa jadi tidak semuanya harus pandai membuat event, tapi pemuda yang siap action. Menjadi agen perubahan. Perubahan sekecil apapun. Masih banyak yang perlu dirubah bukan sekedar lomba-lomba. Sebagai buktinya, coba jawab lebih ramai mana Upacara 17 Agustus atau lomba karaoke-nya? Sebagai penutupnya, boleh kau rayakan kemerdekaan ini dengan suka cita, tapi esok, yuk perjuangkan bangsa ini walau berdarah-darah.
Tertanda,
Panitia Agustusan
Comments are closed