DESA : ERA GENERASI LANGGAS

Dari sinilah bermula.
Seorang senior saya diterima bekerja menjadi jurnalis di media nasional, ibukota Jakarta. Saya memberi selamat seraya mengutarakan keinginan serupa menjadi sepertinya. Jurnalis Tempo.

Apa jawabnya?
“Ndak usah. Pulang saja. Lakukan sesuatu di kampung”.
Pulang?
Apa yang akan saya lakukan di kampung?!!!

Kalau saya pulang, apa yang akan saya lakukan. Memangnya saya berkembang? Memangnya saya…???? Di desa, saya hanya akan bertemu dengan pendidikan yang suram, anak-anak yang mulai terpengaruhi pornografi melalui hape, PS masuk desa, Narkoba menyelindap di makanan-makanan mereka (permen isi narkoba), petani yang lelah, buruh-buruh semen yang lesu, dan buruh-buruh kapal. Apa yang saya akan lakukan dengan mereka?

Patah hatilah saya.

Bodohnya saya tak bertanya, kenapa tak boleh jadi jurnalis. Dan kenapa harus pulang kampung? Setelah obrolan singkat lewat inbox itu, hari-hari saya gelisah. Jadi berpikir, bahwa apa yang saya geluti kala itu ( pers mahasiswa Jember ) sia-sia belaka.

Hari terus berjalan.
Saya lupa dengan cita cita jurnalis saya.
Ditengah ‘kealpaan’ itu saya justru dipertemukan secara imajiner dengan orang-orang yang bergerak di sosial. Orang-orang yang bergerak karena panggilan hati. Saya mendadak haru biru. Pikiran saya semakin banyak keinginannya. Pikiran saya menyeruak bebas di kampung halaman. Badan serasa gigil segigil-gigilnya dan berkata “ I have to do something in my little land”.

Sambil mematut-matut diri dan berpikir, apa yang harus saya lakukan, dengan apa saya memulainya, dengan siapa saya memulainya? Pertanyaan-pertanyaan ini dibiarkan tak terjawab cepat olehNya. Saya masih disuruh terus belajar, disuruh terus mencari, di benturkan sana-sini.

Salah satu caraNya membenturkan kita (saya): Tuhan mempertemukan saya secara imajiner dengan Rene Suhardono dalam bukunya, UltimateU. Sebuah buku tentang passion. Tentang membuat kodifikasi (nama ) pekerjaan yang kita sukai. Untuk bisa disebut menjadi ‘seseorang’ dalam definisi masyarakat kebanyakan, tak perlu harus menjadi profesi-profesi dengan nama-nama yang sudah paten didunia ini. Buatlah nama pekerjaanmu sendiri. Bahwa hidup bukan hanya soal memenuhi kebutuhan jasmani. Potensi besar yang tuhan titipkan di setiap dirimu ( manusia ) harus terus digali.

Lalu disaat merenungi tulisan Rene Suhardono, Tuhan ‘mempertemukan’ lagi telinga saya dengan nyanyian fals, bang iwan, yang berjudul : Desa. Dan disini kekuatan itu pelan-pelan muncul. Saya jatuh cinta pada pendengaran pertama pada lagu ini :

Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri

Walau lahan sudah menjadi milik kota
Bukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejati
Negara harus berpihak pada para petani

Entah bagaimana caranya
Desalah masa depan kita
Keyakinan ini datang begitu saja
Karena aku tak mau celaka

Ini.
Tak mau celaka!
Keyakinan saya,
selaras dengan bang iwan.

Desa adalah kenyataan
Kota adalah pertumbuhan
Desa dan kota tak terpisahkan
TAPI DESA HARUS DIUTAMAKAN.

PAUSE.

Tiba-tiba energy saya bertambah.
Entah dari mana datangnya.
Saya putuskan pulang.
Sambil terus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini : apa yang akan saya lakukan? Dengan apa saya memulainya? Dengan siapa saya memulainya?

Mulailah dengan apa yang kau cintai, begitu kata buku Rene yang saya baca.
Apa yang saya cintai?
Buku.
Saya komat-kamit sendiri.
Setelah buku apa?
Bikin rumah baca!
Saya pulang dengan membawa 250 judul buku yang saya kumpulkan selama tiga tahun. Setelah ada buku dan rumah baca? Lalu bagaimana caranya, bahwa apa yang saya lakukan bisa dilakukan dikampung lain? Gelisah lagi saya ;-D
Yang luput saya pikirkan adalah bahwa waktu terus berjalan dengan pertumbuhan generasi yang luar biasa. Ditambah dahsyatnya pertumbuhan internet yang mempengaruhi sebuah generasi berkembang.

Internet.
Inilah yang menghubungkan saya dengan kawan-kawan relawan di @rumahliterasibanyuwangi dengan cepat;-) semua terhubung tanpa batas. Semua bisa saling belajar. Semua bisa saling berbagi kebaikan. Pun kejahatan. Tentu yang ini tergantung setiap kita, bagaimana menyikapinya.
Itu mengapa, generasi hari ini disebut generasi langgas.
Generasi cepat.
Bukan Generasi Instan.
Generasi yang dihadapkan dengan banyak pilihan dalam satu waktu ( Too many things in one plate). Generasi yang copy paste, tapi kreatif.

Untuk mengetahui perkembangan generasi hari ini, kita bisa belajar dari karakter-karakter mereka : collective (generasi yang memiliki solidaritas tinggi dalam ikatan kelompok); customization (generasi yang semakin sadar bahwa local wisdom yang mereka miliki bisa menjadi bekal untuk menjadi berbeda) ; community ( generasi yang ingin turut serta dalam pembangunan kota mereka agar lebih maju dan lebih akomodatif terhadap youth culture) ; close to family ( mereka menilai bahwa nilai-nilai luhur seperti hormat pada orang tua menjadi sesuatu yang sangat berharga. Apalagi sebagian besar orang tua mereka sekarang tidak sekeras orang tua generasi sebelumnya) ; change over generation ( generasi kini jadi lebih kritis dan berani menyampaikan pendapat dampak dari transisi politik dan masa reformasi) ; chasing inspiration ( generasi yang suka mencari role model/panutan/tokoh baik nasional atau pahlawan) ; connected ( generasi yang terhubung dengan dunia luar melalui internet dan tentu infrastruktur yang mendukung generasi hari ini terhubung begitu dahsyat cepatnya) ; confidence (percaya diri untuk out of the box , mencoba hal baru).

Bisa dibayangkan, karakter-karakter itu juga ada didesa, rasanya desa menjadi kekuatan sebuah bangsa, benar adanya.

Namun tak semua karakter-karakter diatas bisa ditemukan di pelosok negeri ini. Bisa jadi mereka lahir ditahun yang sama, namun karena akses informasi yang lambat, mereka tak memiliki karakter-karakter langgas. Generasi millennials di desa akan berbeda dengan di kota.

Jika pemerintah Desa sadar akan hal ini, maka ratusan generasi langgas bakalan ditemukan di desa. Desa mulai gerilya mencari pemuda yang kuliah dan berpotensi. Lalu segera merespon atas kegelisahan dan ide-ide mereka tentang generasi muda, pendidikan, lingkungan dan budaya yang tengah mengalami perubahan disekeliling mereka. Saya kok yakin, mereka ada! Lalu yakinkan mereka untuk berjuang di desa. Dan pasti mau!

Maka Desa tak lagi didatangi orang-orang kota untuk mengajari mereka hal-hal bijak dan kebaikan. Tapi orang-orang desa (anak-anak desa) punya kesadaran untuk pulang dan mendidik diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar kampungnya.

Lalu, biarkan orang-orang kota datang untuk belajar ke desa 😉

Kata iwan fals, Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri

Di lumbung kita menabung
Datang paceklik kita tak bingung
Masa panen masa berpesta
Itulah harapan kita semua

Tapi tengkulak tengkulak bergentayangan
Tapi lintah darat pun bergentayangan
Untuk apa punya pemerintah
Kalau hidup terus terusan susah

Saatnya,
DESA MENDIDIK bukan MENDIDIK DESA.
Desa harus jadi kekuatan ekonomi.
Dan kekuatan baru didunia Literasi.

NB.
Dan saya membuktikan.
Menulis tak mesti harus jadi jurnalis. Sedikit ilmu literasi saya dari Persma masih bermanfaat.
Di desa saya berkembang 😉
Kamu? kalau belum, kita harus ketemu hehe..

#DesaMendidik #KampanyeLiterasi #KampanyeBaca #RumahBaca #RelawanMuda
#BanggaJadiRelawan #PantangTanyaSebelumBaca

___________________________________________

NURUL HIKMAH

Co founder Rumah literasi banyuwangi, Pengelola Rumah Baca sahabat kecil ketapang, pengajar di PAUD sahabat Kecil, dan relawan rumah literasi indonesia

#

Comments are closed