Hari Ibu & Konsep Maskulinitas

Hari Ibu secara langsung maupun tidak langsung merupakan momentum refleksi untuk kembali melihat konsep laki-laki (maskulinitas) dan kekerasan. Begitu banyaknya isu kekerasan yang di lakukan laki-laki terhadap perempuan, serta kegelisahan akan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Tidak saja kekerasan terhadap perempuan, akan tetapi kekerasan secara umum baik langsung maupun tidak langsung. Kekerasan di sini tidak hanya mewujud dalam bentuk tindakan seperti memukul dan menganiaya akan tetapi bentuk kekerasan yang lain misalnya mendominasi, menguasai, mengontrol dan sebagainya.

Beberapa pertanyaan berhamburan tentang laki-laki, apakah melakukan kekerasan adalah inheren pada laki-laki, atau laki-laki belajar tentang kekerasan? Apakah kekerasan terkait dengan konsep menjadi laki-laki? Apakah konsep laki-laki yang menyuburkan kekerasan dapat di ubah?
Jika kita melihat tayangan iklan rokok atau minuman suplemen, kita akan melihat gambaran laki-laki yang berdada bidang dan memiliki enam kotak di perutnya atau six pack, mampu menaklukkan alam, dan dikerumuni banyak perempuan cantik. Laki-laki yang ada dalam iklan tersebut inilah yang kerapkali menjadi standar kelelakian, dan menjadi referensi satu-satunya bagaimana seharusnya menjadi laki-laki yang memiliki tubuh kuat dan kekar, memiliki orientasi heteroseksual, menikah, memiliki anak, pencari nafkah utama dan bahkan muncul pemeo di masyarakat bahwa harga diri laki-laki di lihat dari hartanya.

Ketika jenis laki-laki yang terakhir ini menjadi referensi utama maka keseluruhan proses menjadi laki-laki otomatis akan mengacu pada kualitas-kualitas tersebut di atas, tak terkecuali keluarga. Orang tua akan cenderung membentuk anak laki-lakinya seperti apa yang di gariskan oleh masyarakat tentang menjadi laki-laki. Kecenderungan lain pada anak laki-laki seperti cengeng, terlalu perasa, dan suami yang lebih banyak mengerjakan tugas-tugas domestik ketimbang istrinya, akan di represi karena bertentangan dengan standar kelelakian yang lazim di terima masyarakat pada umumnya. Selain keluarga, institusi sosial lainnya seperti media baik cetak maupun elektronik juga berperan sebagai institusi pelestari kualitas tunggal laki-laki, itu semua dapat kita saksikan dalam tayangan media baik film maupun iklan.

Ketika hanya satu kualitas kelelakian yang dapat di terima, maka kualitas-kualitas kelelakian lainnya di anggap menyalahi kelaziman, di anggap laki-laki setengah atau tidak komplit. Tulisan ini bermaksud untuk menggambarkan bahwa sebenarnya tidak ada kualitas kelelakian yang tunggal. Pola pikir yang melihat kualitas kelelakian yang tunggal berdampak pada adanya hirarki dalam kelelakian. Dengan demikian tidak hanya laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, akan tetapi laki-laki juga melakukan kekerasan terhadap laki-laki.

Pertanyaannya adalah, apakah benar ukuran kelelakian hanya di lihat dari ukuran dan bentuk tubuh? Bila demikian bukankah itu sama dengan mereduksi kemanusiaan laki-laki menjadi hanya semata-mata bentuk dan ukuran tubuhnya. Bagaimana dengan kecerdasan, keahlian, kreatifitas, teguh pendirian, supportif, anti kekerasan, penuh kasih sayang, menyukai pekerjaan domestik seperti memasak, dan mengasuh anak? Apakah hal tersebut tidak menjadi ukuran kelelakian?

#KeadilanGender

Oleh: faisal riza

Comments are closed