Oleh Nurul Hikmah

Kartu keluarga tak punya.
Akte kelahiran apa lagi.
Usiaku dua tahun.
Kakakku empat tahun.
Ia butuh surat pernyataan keluarga untuk membuat kartu identitas. .
Kakek nenek ambil alih.
Bahwa aku tak lagi cucu.
Aku harus menjadi anaknya supaya diakui negara.
.
Bapak ibuku entah kemana.
Aku tahu raga bapakku ada.
Jiwanya tak ada buatku.
Ibuku sudah lama hilang.
Meninggalkan jiwa bapak.
Pun jiwaku.
.
Mereka tak bersama lagi.
Kami liar tanpa tanda pengenal.
.
.
PAUSE
.
.
Anak-anak ini banyak disekitar.
Anak-anak Yatim secara sosial begitu membludak. Ayah ibunya menikah tanpa bekal. Bekal batin dan lahir. Bekal ilmu yang dipersiapkan menjalani pasca pernikahan. Bisa dibayangkan pasangan yang punya bekal saja belum menjamin pernikahan baik-baik saja. Apalagi tanpa bekal. Di era banyak pernikahan usai di usia belia tersebab masalah sepele.
.
Anak-anak selalu jadi korban. Korban asal-asalan orang belum cukup usia dan bekal menjadi dewasa. .
.
.
Sungguh apa sebenarnya yang dipersiapkan untuk Menikah? Saya yang menjadi pendidik dikeseharian mendadak menjadi konsultan pernikahan. Padahal belum juga banyak bekal untuk “menasihati”. Apa boleh buat, ‘pasien’ nya datang begitu saja. .
.
Saya ingat pesan Kurniawan Gunadi ; Jaga diri dan jaga niat.
Ada jutaan kompor diluar sana.
Ada ribuan propaganda diluar sana tanpa mereka bersedia bertanggung jawab atas Keluarga yang akan kamu bangun dengan tergesa-gesa. Berhati-hati dan selalu yakin bahwa ini tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. .
.
Berhati-hati lah. Karena terlambat mengurus keberlangsungan hidup keluarga. Maka hiduplah yang akan mengambil alih dengan paksa tugas yang diabaikan. Kalau sudah hidup yang ambil alih, maka tak ada bala bantuan. Ujian bergulir begitu saja.
Maka persiapkanlah, jangan asal asalan. 

#

Comments are closed