The greatest teacher, failure is.
(Yoda. star wars: the last Jedi)
Guru terbaik adalah kegagalan. Kegagalan adalah mimpi yang tertunda. Begitu petuah bijak sering didengung-dengungkan.
Beberapa minggu ini, sering betul menjelajah hari-hari dimana dahulu kegagalan yang sering saya alami mengalahkan semangat. Apa alasan mengingat kembali kegagalan yang telah lalu ? Karena perjalanan kegagalan itu membawa perjalanan baru, hari ini. Kegagalan apa? Mari menengok sebentar cerita saya.
Tahun 2011, saat saya baru memulai inisiasi rumah baca. Sependek ingatan saya, rumah baca belum begitu banyak aktivitasnya. Namun saya sudah “berani” mencoba mengirim proposal permohonan buku ke empat penerbit besar sekaligus. Berbekal alamat yang tersebar di website (Internet) proposal rumah baca saya kirim ke Gramedia Pustaka, Kompas, Penerbit Mizan, dan Asmanadia. Harapannya, semoga ke empat penerbit besar itu memberikan donasi bukunya untuk rumah baca yang saya kelola. Dengan keyakinan proposal akan di terima dan di acc secepatnya. Serta berbekal keyakinan bahwa apa yang saya lakukan adalah aktivitas sosial. Maka penerbit (perusahaan) sekelas mereka, tak akan berlama-lama memberikan donasinya.
Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan berganti bulan. Saya harap-harap cemas. Hingga menuju pergantian tahun, tak ada kabar tentang proposal.
Tak ada sama sekali.
Setahun berlalu.
Saya sudah tidak menunggu lagi. Tak mengharap kabar lagi.
Saya anggap tak pernah meminta/mengirim apapun.
Soal pengadaan buku untuk rumah baca, sementara saya abaikan.
Saya fokus meramaikan rumah baca dengan aktivitas belajar dan bermain sederhana bersama anak-anak. Aktivitas rumah baca berkembang gesit di satu sisi saja, yakni hanya belajar (Les) bersama. Relawan rumah baca hanya saya seorang. Meski nafas kembang kempis. Semangat juga sering tiarap. Anak-anak berdatangan tak henti-henti. Sehari bisa 30-40 orang anak yang belajar di rumah baca. Padahal yang saya lakukan hanya menemani mereka belajar. Membantu mereka jika ada kesulitan dalam memahami mata pelajaran sekolah. Itu saja. Tanpa kampanye baca.
Tahun 2012-2013, rumah baca memang tak banyak memiliki buku anak-anak yang inspiratif dan menarik. Meski harapan mendapatkan donasi dari penerbit/perusahaan perbukuan di negeri ini pupus, harapan baru datang dari yayasan hibah buku 1001 Jakarta. Yayasan 1001buku (jaringan relawan dan perpustakaan anak) ini adalah nafas pertama bagi rumah baca yang saya kelola. Setidaknya donasi buku yang mereka kirim untuk saya menambah percaya diri bahwa aktivitas sosial-pendidikan yang saya lakukan mendapat respon.
Niat membangun kampung halaman melalui rumah baca masih terus saya pancangkan. Hingga saya bertemu dengan kawan-kawan (relawan) yang se-ide, se-gagasan, se-kegelisahan, se-rasa dan se-tanggungjawab pada sekitar. Maka 2014 lahirlah Rumah Literasi Banyuwangi. Yang mendapat respon baik. Dari sinilah awal dimulai membangun kampung halaman Banyuwangi secara ramai-ramai (gotong royong). Kami memulai nya dengan : LITERASI.
Berbagai macam aktivitas literasi kami lakukan. Setiap Minggu bahkan hampir setiap hari menyusun kegiatan-kegiatan ke-literasi-an untuk kampanye literasi ke desa-desa dan sekolah-sekolah. Meski hampir seluruh relawan bukan berlatar belakang sebagai pustakawan, kami selalu mencoba hal-hal baru disetiap kampanye literasi. Trial and error yang terjadi, kami jadikan pengalaman dan perbaikan metode kampanye literasi. Best practise di lapangan, kami unggah ke sosial media. Sebagai media yang membantu kami dalam mensosialisasikan literasi pada masyarakat luas. Kebiasaan baik ini mendapat respon dari masyarakat Banyuwangi dan di luar kabupaten.
Hingga suatu hari, 2015, kami mendapatkan informasi mengenai Ulang tahun Gramedia Pustaka Jakarta. Salah satu perayaan yang diadakan Gramedia pusat adalah dengan berbagi buku. Gramedia mengundang seluruh pegiat literasi/pendidikan untuk mendaftarkan komunitasnya. Yang terpilih akan mendapatkan 500 judul buku terbaik dari Gramedia.
Tak disangka, Rumah Literasi Banyuwangi terpilih dari ribuan pendaftar.
PAUSE
Saya terharu.
Saya mencoba flashback.
2011 proposal saya ke Gramedia tak direspon. Proposal yang saya anggap gagal, ternyata…
Di tahun 2015 Gramedia justru memilih komunitas literasi yang saya dan kawan-kawan bangun. Komunitas kami mendapatkan donasi 500 judul buku.
500 judul buku!
Itu melimpah sekali.
Bayangkan, saya harus menunggu 4 tahun “direspon” Gramedia.
Tak hanya itu kawan, sampai detik ini, 7 tahun saya membangun rumah baca Sahabat Kecil dan 4 tahun saya bersama kawan-kawan membangun komunitas literasi ; Semakin terhubung dengan Gramedia. Semoga semakin baik. Seiring literasi yang kami bangun tumbuh.
Kawan,
Tuhan tahu, tapi Ia Menunggu, kata Filsuf Leo Tolstoy.
See?
Guru terbaik bagimu adalah kegagalan.
Maka bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhan atasmu.
?
Selamat merayakan konsistenmu kawan..
Hadiah terbaik sedang menunggumu. Ia sedang berjalan ke arahmu. Jangan turunkan harga kerelawananmu!??
Mari terus bekerja, ikhlas, dan jujur atas kepedulianmu.
Cc: Rumah Literasi Indonesia Rumah Literasi Banyuwangi
Nurul Hikmah
Comments are closed