Jika mulutku tak bisa mengabarkan pada dunia, izinkan sedikit tulisan ini bekerja sesuai kehendakNya.
Sore yang indah. Saat anak kecil berlarian, senyumnya mengambang, diujung jalan si ibu dengan semangatnya menanti si lucu menghampiri untuk kemudian dipeluknya. Sungguh sore yang luar biasa. Seluar biasa ketika tetiba bapak paruh baya menghampiriku yang sedang sendiri dengan pikiran yang entah dimana. “Nak, kamu pasti mengira saya tidak bahagia, kan?” tanyanya yang membuatku kaget. Sungguh, pertanyaan pembukanya termasuk pertemuan itu merupakan cara Tuhan menasehati hamba-Nya. Itu yang ku imani selalu.
“Ngapunten pak, memangnya kenapa?” jawabku penasaran. Pria paruh baya yang belakangan kutahu namanya pak hasan. Setelah jawaban sekaligus pertanyaanku barusan, pak Hasan melanjutkan gilirannya. “Nak, bukankah di eramu ini semuanya di ukur dengan materi? Kau tentu lihat bagaimana pakaian dan tampilanku? Aku yakin kamu menganggap aku kurang bahagia, bukan? Tanpa baju mewah yang kadang menyembunyikan kebusukan pemakainya, tanpa uang di ATM yang kadang membuat sebagian orang punya alasan untuk tidak berbagi karena tak punya uang cash, tanpa gadget seperti yang ditanganmu yang membuat kehidupan sosial tak indah lagi, aku juga tak punya jejaring seperti mereka yang kadang mengesampingkan kualitas dengan mengandalkan jaringannya, bahkan ada diluar sana yang sedang membangun sistem yang terorganisir untuk tujuan monopoli kepentingan, nama baik di kejar tanpa malu lagi meremehkan orang”. Aku hanya terdiam, seolah Pak Hasan dengan penjelasannya barusan sedang menyindirku dan tentu menghakimiku. Dalam hati tapi aku mengamini apa yang beliau tuturkan.
“Memang ada ya pak, seseorang dengan segala keterbatasannya bisa bahagia?” tanyaku karena mulai menganggap pak Hasan bukan orang sembarangan. “Bahagia itu ada di dirimu, bukan ada pada sesuatu yang menyertaimu. Bahagia itu ada di akalmu, tepat di pola pikirmu. Itu letak keadilan Tuhan. Andai bahagia itu di definisikan karena sesuatu yang melekat pada manusia, maka keadilan Tuhan perlu dipertanyakan. Jika bahagia itu terletak pada akalmu, maka belajar dan menuntut ilmu adalah satu ikhtiar manusia mencapai bahagia itu sendiri”. Belum selesai beliau melanjutkan penjelasan, aku yang mulai mengerutkan dahi ini menyela, “Pak, saya belum faham”. Tentu dibarengi senyum agar Pak Hasan mau menjelaskannya lebih sesederhana menurutku.
“Jadi begini, kamu dapat gaji sejuta, dan saya dapat gaji lima ratus ribu. Menurutmu siapa yang bahagia?” ah Pak Hasan mulai bercanda pertanyaannya. Ya jelaslah kujawab, “ya saya pak, karena dengan uang sejuta saya lebih bisa membeli apa yang saya inginkan”. “Nah itu letak salahmu”, jawaban beliau membingungkan. “Nak, sekali lagi saya jelaskan, bahagia itu ada di pola pikirmu, sudut pandangmu. Tadi kamu bilang uang sejuta bisa buat beli apa yang kamu inginkan, bukan? Disitu nafsumu merajaimu. Manusia memang begitu, apa-apa harus dimiliki sekarang, mereka memenuhi apa yang mereka inginkan bukan yang mereka butuhkan. Gengsi justru lebih mahal. Kau beli yang seharusnya belum saatnya kau miliki. Bukankah semua hal sudah ada waktunya masing-masing? Saya dengan gaji lima ratus tadi bisa mencukupi kebutuhan bahkan menabung untuk rencana masa depan. Satu lagi yang kau perlu tahu bahwa saya bahagia”. Penjelasan luar biasa yang jarang saya temukan dikelas-kelas sekolah formal. Saya hanya senyum dan memperhatikan kata demi kata beliau yang nyaris membuat saya sadar akan hal yang selama ini banyak orang cari, Bahagia.
“Pak, jika bahagia itu ada di akal dan tepatnya di pola pikir, tapi mengapa justru orang yang berilmu kadang belum menemukan bahagia itu sendiri?”. Saya mulai menunggu jawaban luar biasa berikutnya. “Karena akal mereka tak sampai pada tingkatan selanjutnya. Jika kamu sekolah atau ngaji selama ini, maka itu hanya meningkatkan akalmu di satu tingkatan namun belum sampai pada tingkatan selanjutnya. Tingkatan selanjutnya itu adalah akhlaq. Karena refleksi dari kelimuan yang tinggi adalah akhlaq yang lebih tinggi. Kamu perhatikan sekitarmu hari ini, bukankah isi dari gedung-gedung mewah itu isinya orang-orang pintar? Tapi faktanya kemewahan mereka bukan penyebab bahagianya, mereka terus mencari tanpa kenal istilah, Puas. Jadi belajarlah terus, nak. Tapi ingat ilmumu harus berdampak pada akhlaqmu. Kadang orang pintar juga pintar memakai topeng kehidupan, bukan? Pintar menasehati, menyuruh, membimbing, tapi dia gagal melawan dirinya sendiri”.
“Kamu guru?” beliau bertanya. Saya mengangguk tanda mengiyakan pertanyaannya. “Sama”. Jawab beliau singkat. “oh jadi bapak guru, di sekolah mana pak?”. “Tempatku mengajar beda denganmu, nak. Kamu mengajar di ruang-ruang kelas yang nyaman. Kadang tempatmu hanya bisa membuka jendela dunia katanya, tapi gagal membuka kesadaran penghuni kelasnya. Penghuni dikelasmu kadang ketika baru saja mendapat ilmu sedikit sudah merasa superior, pendapatnya harus dipakai dan tak jarang merasa paling benar. Kelasku luas nak, tak terbatas sepertimu. Aku menyebutnya kelas kehidupan tanpa batas atap apalagi pembatas ruang yang kadang membedakan si punya dan tidak punya. Jika kamu kadang memakai topeng agar disegani, tapi bapak tidak. Bapak apa adanya tanpa ada yang harus ditutup-tutupi dan tanpa ada yang dikejar. Karena bahagiaku dan bahagiamu beda. Beda definisi dan tempat melihatnya”, beliau menuntaskan penjelasannya.
Adzan yang mengakhiri keakraban kami disore itu lantas beliau berlalu. Terimakasih pak Hasan. Semoga Bapak sehat selalu dan diridhoi-Nya. Terimakasih atas pembelajaran di kelas kehidupan yang bapak sampaikan barusan. Semoga dengan ini orang-orang bisa merasakan kelas-kelas yang bapak buat.
(Achmad iqbal)
Comments are closed