Apa yang ada di benak saudara ketika mendengar kata “Desa” ? Syukur jika yang terlintas adalah gambaran sawah yang begitu luas, air sungai yang jernih, atau anak-anak desa yang pergi ngaji. Namun, dewasa ini mungkin desa banyak di konotasikan sebagai “yang terbelakang”. Keterbelakangan ini cukup beralasan jika melihat kondisi desa saat ini. Tak perlu mencari desa yang berada di pelosok negeri atau sering disebut daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) untuk menengok keterbelakangan desa. Hal ini dikarenakan masih banyak desa yang berada dipinggiran kota besar justru masih jauh dari kata ideal.
Pelbagai identitas desa pun melekat dari generasi kegenerasi tanpa perubahan berarti. Desa dijadikan tempat penyuplai kebutuhan hidup masyarakat kota namun tak memberi kesejahteraan warga desa. Desa sampai saat ini masih saja menjadi lab bagi mereka yang berintelektual dalam menguji program dan kebijakan pemimpin negeri ini. Desa juga masih sebatas ajang pamer diri bagi pemerintah yang seolah pro rakyat dengan menggelontorkan dana begitu besar namun faktanya nihil kecuali pembangunan yang terkesan menghamburkan uang. Apakah ini sepenuhnya salah pemerintah?
Pemerintah sebenarnya telah banyak melakukan perubahan kebijakan. Yang terbaru adalah berlakunya UU No. 6 tahun 2014 (Undang-undang Desa). Layaknya dua sisi mata uang, peraturan ini disatu sisi merupakan bentuk pengakuan negara terhadap otonomi desa yang mungkin selama ini hanya menjadi pelaksana peraturan tanpa dialog untuk menentukan arah kemajuannya sendiri. Disisi lain, peraturan ini menjadi tantangan bagi pemerintah desa khususnya dan umumnya bagi warga desa. Solidaritas warga dan pemangku kebijakan harus terwujud karena bagaimana desa kedepannya bergantung pada warga desanya.
Warga desa yang saat ini menjadi aktor penggerak perubahan diharapkan minimal merubah mindset nya. Warga desa tak boleh lagi hanya memikirkan dana. Ini tergambar misalnya ketika diajak berdiskusi tentang kemajuan, maka kata-kata yang pertama akan terlontar adalah “apa dapat uang?”. Hal semacam ini yang tidak boleh lagi terjadi. Mengingat begitu besarnya dana desa yang sudah digelontorkan pemerintah yang harus di kawal bersama-sama. Dengan UU desa ini, program yang dijalankan di desa tak lagi bersifat mandatory, tetapi justru pelibatan masyarakat melalui Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) harus menjadi rutinitas desa.
Upaya meningkatkan peran aktif masyarakat desa harus segera dilakukan. Antlov mengingatkan kita bahwa jangan sampai otonomi yang telah diberikan kepada pemerintahan desa hanya bersifat administratif sehingga desentralisasi harus dilakukan tidak hanya pada level pemerintahan provinsi atau kabupaten, tetapi juga harus direalisasikan pada level desa. Desentralisasi level desa akan dapat maksimal jika peran aktif masyarakat harus tumbuh terutama dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Antlov menyebut hal tersebut sebagai everyday-politics.
Meminjam istilah Paulo Freire tentang “Penyadaran” terhadap penindasan di pelbagai segi kehidupan dan mulai mengambil tindakan untuk melawannya merupakan langkah yang harus segera ditempuh. Penindasan di sini diartikan sebagai bentuk dipersempitnya gerak gerik warga desa karena pemikiran mereka sendiri. Warga desa harus disadarkan dari pasifnya mereka dalam berperan menentukan arah desa. Refleksi diri dalam bentuk pembelajaran dan aksi nyata warga desa harus segera di tumbuh kembangkan melalui “penyadaran”. Karena Freire percaya bahwa tanpa refleksi yang akan terjadi hanyalah aktivitas biasa dan tanpa aksi terjadilah verbalisme (omong kosong). Pertanyaan terpenting mengenai bagaimana “Penyadaran” itu dimulai?
