Perhelatan pilkades baru saja digelar dan telah terpilih 130 pemimpin baru, meski masih banyak riak-riak perlawanan atas kekalahan dari para tim sukses, tuisan ini tak hendak membincang konflik pilkades karena telah ada panitia yang mengurusi beserta perangkat aturan mainnya yang tentu telah disepakati sejak awal oleh para calon. Yang lebih keren itu, mendiskusikan tentang apakah yang hendak disiapkan oleh kepala desa terpilih , baik yang incumbent maupun wajah baru nanti ? . terutama yang menyangkut tentang kewenangannya dalam menjaga “ sumber panguripan “. yaitu sarana yang digunakan untuk hidup atau sebagai mata pencaharian, menjaga sumber penghidupan berarti menatakelola dan menjaminkan keberlanjutannya. yang diistilahkan oleh Scoonnes ( 1998 ) sebagai sustainable livelihoods yaitu mengkombinasikan antara kapasitas, sumberdaya dan aktifitas yang dibutuhkan sebagai sarana berkehidupan ( means of living ) yang mampu mengatasi dan dapat bertahan dari tekanan ( stresses ) dan guncangan ( shock ) , serta tidak merusak kelangsungan sumber daya alam. Kewenangan menjaga sumber penghidupan desa menjadi nyawa dari UU Desa. apalah jadinya hilir tanpa hulu ???
Hingga saat ini ,desa masih diposisikan sebagai institusi terendah dibawah kekuasaan camat. Desa juga diposisikan sebagai kaki tangan pemerintah. Sebagian masyarakatnya juga masih menempatkan desa sebagai tempat mengurus surat – menyurat dan kepentingan legalitas semata . cara pandang ini mengkerdilkan dan meminggirkan banyak hal, salah satunya adalah kewenangan untuk mengelola kearifan lokal berupa prakarsa masyarakat yang telah hidup lama bersemayam dalam kehidupan sosial desa. meskipun sudah lima tahun UU Desa menyerahkan kembali kewenangan yang semula diambil alih oleh negara tersebut. Azas recognisi dan subsidiaritas yang dimandatkan dalam UU Desa, menempatkan desa sebagai institusi yang memiliki hak asal usul dan mampu mengatur sumber daya yang dimilikinya. tetapi dalam praktiknya keleluasaan kewenangan tersebut masih berkutat pada aspek – aspek tehnokratis dan birokratis. Serta menggiring wacana public sebatas persoalan dana desa dengan perangkat regulasi yang ribet dan birokratis. melupakan momentum baru untuk mendiskusikan bahasan penting seputar kewenangan desa lainnya. yang menurut Eko dkk ( 2014 ) adalah hak desa untuk mengatur, mengurus, dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat . sebagaimana tertuang dalam Pasal 109. Mandat kepada desa adalah mengatur dan mengelola asset serta kekayaan desa bagi peningkatan kesejahteraan dan taraf penghidupan masyarakat. Sumber penghidupan sendiri diklasifikiasi oleh organisasi ( DFID ) menjadi lima jenis yang disebut pentagonal asset al : sumberdaya manusia ( Human asset ), alam ( natural asset ), financial atau ekonomi ( financial asset ) dan sosial ( social asset )
Diskursus Kewenangan Pengelolaan Asset Desa.
Ada pernyataan yang miris dari para aparatur desa, saat diskusi pada perkuliahan terkait penataan sumber daya desa atau asset desa, bahwa betapa mereka sangat tidak siap jika tanpa DD/ADD, seraya berseloroh “ lah terus desa ngurus apa jika tidak ada DD dan ADD “ kan itu sumberdana yang penting untuk pembangunan” . Betapa posisi sumberdaya financial ( financial asset ) berupa DD dan ADD, menjadi semacam paket catering yang lezat dalam resepsi pembangunan desa. dipenuhi aroma yang membuat hiruk pikuk publik yang sedang mengintip , meramaikan tentang bagaimana cara menghabiskan, lalu siapa yang mendapat bagian , dan yang tidak kebagian siap – siap memperkarakan. Menggunakan tafsir pembagian yang beragam. Memaknai kewenangan pengelolaan sumberdaya hanya tentang besaran DD/ADD, tentang bagaimana cara menghabiskan dan membuat laporan. Energi desa banyak dihabiskan hanya berkutat pada siklus pencairan DD/ADD. sehingga menyingkirkan sumberdaya yang lain. Semestinya DD/ADD dimaknai sebagai instrumen untuk merehabilitasi ketidakadilan sosial-ekonomi yang selama ini dialami desa , ( Eko, 2015 )
Disebagian yang lain ada desa “ champion “ meminjam istilahnya mas Sunaji dari IRE Jogja. Desa yang jadi inspirasi yaitu Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah memiliki aset milyaran rupiah dengan tiga unit layanan usaha (penyediaan sarana air bersih, simpan pinjam bagi usaha pedagang kecil dan pengelolaan pasar Desa) yang dikelola melalui BUMDesa. ada juga Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung kidul, DI Yogyakarta, mendorong kebangkitan warga dari efek gempa bumi pada tahun 2006. Desa berhasil mengelola Air Terjun Sri Gethuk dan Gua Rancang Kencono sebagai obyek wisata. Sumber mata air dikelola BUM Desa untuk mencukupi kebutuhan air warga setempat hingga pengelolaan pariwisata dan simpan pinjam. Nilai keuntungan pengelolaan air (SPAMDes) mencapai 80 juta rupiah, pengelolaan pariwisata pada tahun 2012 memberi kontribusi hingga 327 juta rupiah. saya yakin masih banyak desa – desa yang berhasil mengelola sember panguripan nya dengan kearifan lokal. Inilah kerangka kerja penting yang ditawarkan UU Desa. kekuasaan tertinggi pengelolaan asset bukan semata – mata monopoli kepala desa beserta perangkatnya , tetapi berada di tangan seluruh warga desa yang diputuskan dalam ruang musyawarah desa. sebagai pemenuhan prinsip pengelolaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Deliberasi Sumberdaya / Asset Desa
Permusyawaratan desa merupakan forum demokrasi deliberatif , pengertian deliberatif adalah pandangan bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara ( desa ) untuk berkomunikasi sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik ( Hardiman, 2014 ). Pengakuan dari beberapa mahasiswa aparatur desa dalam kelas program bea siswa , mengemukakan tentang betapa susahnya mengundang musyawarah desa. “ dulu pada saat belum ada DD dan ADD, masih agak lumayan artinya warga masih bersedia untuk rembugan dan juga gotong royong membangun sarana umum semisal jembatan kampung, gardu poskamling, selokan, saat ini mereka sudah enggan karena sudah bisa dikerjakan melalui DD/ADD “. Fakta ini menandai rapuhnya sumberdaya sosial yang menjadi pilar sumber “panguripan” desa . salah satu sumberdaya penting yang menjadi semangat lahirnya UU desa. yaitu mengembalikan kewenangan yang berasal dari kekayaan asli desa ( hak asal usul ).
Ambruknya prakarsa warga desa dalam ruang musyawarah desa perlu menjadi perhatian penting dari pemimpin – pemimpin baru nanti dari pada hal-hal yang sifatnya administratif dan cenderung manipulatif. Rembug warga juga dapat menutup celah penguasaan sumberdaya/asset desa oleh segelintir orang. Sebab salah satu indikator keberlanjutan pembangunan desa adalah kemampuan mengatasi faktor – faktor penyebab kerapuhan sumberdaya sosial nya ( Chambers and Conway 1992 ). Memulai merancang untuk membuka kran-kran komunikasi ( rembugan ) yang selama ini tersumbat dan menggelar akses partisipasi warga untuk menentukan masa depan desanya. BPD juga semestinya terdorong untuk mendengarkan dan bersedia dikontrol oleh warganya. Ada banyak contoh tumbuhnya sikap kerelawanan dan prakarsa-prakarsa warga yang diinisiasi oleh institusi – institusi lokal yang mampu mengurai kerentanan atas asset atau sumberdaya pedesaan baik sumberdaya alam / lingkungan, sumberdaya ekonomi ( koperasi ), dsb. Jadi tugas pemimpin desa ke depan adalah bersedia sinau, srawung dan gotong royong, begitu pesan guru ngaji ku. Dan guru ngaji kita semua.
Emi Hidayati
Ketua LPPM IAI Ibrahimy Genteng – Banyuwangi.
Comments are closed