*Oleh : Achmad Fikri Fitrananda A.Md. Lib.

Feminisasi kemiskinan merupakan sebuah istilah yang menekankan bahwa perempuan miskin dianggap lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki, meskipun keduanya hidup dalam kemiskinan yang sama. Hal ini menyebabkan kemiskinan menjadi identik dengan perempuan (Moghadam, 2005:2). Gimenz dalam Moghadam (2005:7) pun mengatakan bahwa kemiskinan yang terjadi pada laki-laki merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran sehingga dapat ditanggulangi dengan memberikan pekerjaan. Akan tetapi, kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan akan tetap terjadi walaupun perempuan bekerja dalam waktu penuh. Hal itulah yang mengakibatkan perempuan dianggap lebih rentan mengalami kemiskinan. Menurut Arjani (2007:10), feminisasi kemiskinan berkaitan dengan budaya patriarki yang berkembang di dalam masyarakat. Lebih jauh, Arjani menjelaskan bahwa hal tersebut dapat terlihat dari subordinasi atau penempatan perempuan pada posisi subordinat, marginalisasi atau penempatan perempuan pada posisi marginal, serta deskriminasi terhadap perempuan. KP3A Republik Indonesia (2010) mendefinisikan subordinasi sebagai “suatu penilaian atau angapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin tertentu lebih rendah dari yang lainnya”.

Subordinasi terhadap perempuan tersebut dapat terlihat dari beberapa aspek, yaitu: 1.) banyaknya kegiatan dan ciri-ciri kaum perempuan yang dianggap kurang penting, lemah, kurang berharga, dibandingkan dengan kegiatan dan ciri-ciri kaum pria. 2.) perempuan memiliki otoritas yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki karena adanya anggapan bahwa perempuan hanya dapat mengurus hal-hal dalam arena rumah tangga (domestik) saja disaat laki-laki dianggap memiliki kapabilitas dalam arena public (Ridjal, dkk, 1998:33-34). Dalam karya tulis ini, konsep marginalisasi yang digunakan adalah marginalisasi dalam bidang pekerjaan. Berdasarkan indikator yang telah dijelaskan, marginalisasi dalam bidang pekerjaan dapat dilihat dari anggapan bahwa perempuan merupakan pencari nafkah sekunder dan pekerjaan perempuan kurang dihargai, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Sebagai studi kasus, penulis mengungkap sebuah kisah perempuan-perempuan di Desa Papring, Kelurahan Kalipuro, kecamatan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi. Perempuan-perempuan yang notabene berstatus sebagai ibu rumah tangga tersebut, memiliki pekerjaan yakni sebagai penganyam bambu. Pekerjaan dengan pendapatan paling tinggi hanya berkisar antara  tujuh ratus ribu rupiah perbulan saja. Kegiatan menganyam bambu tersebut dilakoni dengan alasan membantu perekonomian keluarga. Hasil anyaman yang dihasilkan dari buah tangan para perempuan Desa Papring dijual kepada para tengkulak yang kemudian menjualnya jauh lebih mahal di pasaran. Marginalisasi yang terjadi disini dapat dilihat dari anggapan masyarakat bahwa pekerjaan yang dijalani para perempuan penganyam bambu tersebut hanyalah untuk mengisi waktu luang, sehingga para tengkulak pun tak segan untuk mematok harga “kulak”nya se-minimal mungkin. Stigma tersebut juga diiringi dengan anggapan bahwa pekerjaan wajib mereka (perempuan penganyam bambu) adalah memasak, mengurus anak, dan menyelesaikan segala pekerjaan rumah lainnya. Sehingga, sekali lagi, hasil karya anyaman yang mereka produksi layak dibeli dengan harga rendah.

Joanna Hollows, seorang Dosen senior dalam kajian media dan budaya di Nottingham Trent University dalam karya nya “berjudul Feminisme, Feminitas, & Budaya Populer” menjelaskan tentang budaya produksi yang tidak hanya dipandang lebih penting dari budaya konsumsi, lebih jauh ia mengungkapkan bagaimana pelbagai penjelasan dan perdebatan ini digenderkan. Penjelasan saya ini melibatkan pengamatan bagaimana produksi dinilai positif sebagai aktivitas maskulin dan konsumsi dipandang sebagai sesuatu yang negative dan didefinisikan dengan perempuan dan/atau yang ‘feminin’. Anggapan-anggapan ini terkandung dalam the Feminisme Mystique karya Betty Fridan yang menggambarkan produsen perempuan sebagai produsen yang pasif, bergantung, mudah tertipu, dan dunia kerja dipandang sebagai kunci pemenuhan hasrat konsumerisme ini. Bagaimana produksi diutamakan diatas konsumsi diutarakan cukup nyata oleh beberapa kritikus yang menggunakan pendekatan teoritis yang berbeda-beda, tetapi Marx memberikan contoh yang baik. Marx menyatakan bahwa buruh adalah ‘wilayah penciptaan diri’ (Miller 1994:46). Dengan menekankan ‘manfaat nilai kerja’, Marx berpendapat bahwa ‘kita menciptakan identitas kita melalui kerja yang bermanfaat secara sosial’. Oleh sebab itu, kerja tidak hanya dinilai sebagai aktivitas manusia yang mendasar, tetapi juga menghasilkan kesan akan identitas. Namun penulis mencoba menggunakan pendekatan Dialektika yang dicetuskan oleh Hegel guna menganalisis persoalan masyarakat yang tengah dihadapi para perempuan Papring. Yang khas bagi filsafat Hegel adalah ciri proses. Tak ada bidang-bidang pengetahuan maupun bidang realitas yang terisolasi. Semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Bagi Hegel, dialektika berarti sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya. Dan hubungan ini berupa negasi. Hanya melalui negasi kita bisa maju, kita dapat menemukan diri sendiri. Franz Magnis Suseno (1999:60) mengutarakan bahwa secara ringkas, dialektika Hegelian memandang apapun yang ada sebagai ‘kesatuan dari apa yang berlawanan’, sebagai ‘perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan’, sebagai ‘hasil dari, dan unsur dalam, sebuah proses yang maju lewat negasi dan penyangkalan’. Ke-khasan negasi itu adalah bahwa apa yang dinegasi tidak dihancurkan atau ditiadakan. Melainkan yang disangkal hanyalah segi yang salah (yang memang membuat seluruh pernyataan itu salah), tetapi kebenarannya tetap diangkat dan dipertahankan.

Lebih lanjut penulis menganalisa permasalahan perempuan penganyam bambu menggunakan prespektif Hegelian, penulis awali dari budaya produksi yang oleh Marx diidentikkan dengan penciptaan identitas atas keberadaan diri seseorang yang bekerja adalah merupakan sebuah premis awal berupa thesa. Dalam keharusan yang normal, perempuan-perempuan tersebut seharusnya menemukan identitas dirinya sebagai pekerja yang berhak mendapatkan hasil maksimal dari hasil produksinya. Atau pada taraf kewajaran, perempuan tersebut menyandang hak untuk menentukan berapa harga barang produksi mereka bisa dibeli oleh para tengkulak. Namun yang senyatanya tak seperti yang seharusnya. Kenyataan yang terjadi pada kegiatan produksi anyaman bambu menemui berbagai negasinya. Antithesa dari momen dialektis ini direpresentasikan dengan kondisi perempuan-perempuan tersebut yang semakin jauh kehilangan jatidirinya, dianggap sekunder oleh lingkungan sekitar, dan termarginalisasi oleh kenyataan bahwa pekerjaan menganyam bambu yang digeluti kaum ‘feminin’ bukanlah kegiatan produksi yang sesungguhnya. Kondisi terpuruk yang paling dirasakan adalah ketika para tengkulak membeli dengan harga sangat murah ketika harga sembako melonjak naik. Bagi para perempuan penganyam bambu tersebut tidak ada pilihan lain selain menjualnya dengan harga yang dipatok oleh tengkulak. Ketidakberdayaan atas barang produksi yang diproduksinya sendiri merupakan efek mendalam dari adanya ketergantungan yang kemudian menghilangkan kemungkinan-kemungkinan untuk berwirausaha secara mandiri.

            Sebagai pengantar menuju sebuah sintesa, penulis tertarik untuk menyitir pandangan tentang kondisi masyarakat post-industrial Paschal Preston yang dikutip oleh Rahma Sugihartati dalam karya nya yang berjudul ‘perkembangan masyarakat informasi dan teori sosial kontemporer’. Secara garis besar, Preston memaparkan paling tidak ada dua proses perubahan yang melatarbelakangi perkembangan pemikirannya tentang masyarakat informasi. Pertama, terjadinya perluasan yang benar-benar signifikan dalam derajat penekanan pada persoalan teknologi dalam wacana publik kontemporer. Kedua, munculnya kesadaran bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi baru telah menjadi jalur khusus dan utama dari proses perubahan sosial, politik, budaya, dan ekonomo masyarakat post-industrial (Preston, dalam Sugihartati, 2014:85). Menurut pengamatan dan kajian preston, sejak 1970-an, banyak hal terjadi dan telah berubah dalam kehidupan komunikasi manusia, terutama berkaitan makin meluasnya teknologi informasi dan media massa. Perubahan yang terjadi di masyarakat tidak hanya menyangkut persoalan inovasi teknik baru yang radikal di bidang informasi dan komunikasi, seperti perkembangan cepat dari internet  world wide web dan prospeknya sebagai garda terdepan dalam perdagangan elektronik dan jasa multimedia digital.

Sugihartati (2014 : 91) juga menambahkan bahwa kehadiran konvergensi media, selain meneguhkan eksistensi dan menghela perkembangan masyarakat informasi, juga mendorong lahirnya ekonomi digital dan sistem ekonomi informasional. Hal ini dapat menjadi titik balik bagi persoalan perempuan-perempuan di Desa Papring. Melalui pencerdasan tentang melek teknologi, terbesit sebuah harapan tentang bagaimana para perempuan penganyam bambu memiliki kuasa penuh atas kegiatan produksi yang dijalankannya. Media sosial berbasis internet dapat menjadi wadah penyebarluasan informasi tentang hasil produksi. Output positif yang sangat signifikan yakni tumbuhnya kemandirian ekonomi berbasis digital. Dengan menjadi tuan atas dirinya dan produksinya sendiri, para perempuan penganyam bambu dapat memutus rantai produksi yang sebelumnya hanya bergantung pada tengkulak. Maka sebagai sebuah sintesa, perekonomian digital tersebut tidak hanya membebaskan rantai produksi yang tidak sehat, tetapi mampu mengembalikan trah perempuan sebagai satu keutuhan yang utuh atas dirinya, dan tidak lagi termarginalisasi oleh perbedaan gender seperti sebelumnya. Tentunya dengan membawa semangat kontra-feminisasi kemiskinan.

#

Comments are closed