unia penuh sesak dengan omong-omong kosong. Hastag mendunia hingga bualan-bualan nyata. Persetan dengan itu semua. Dunia yang semakin jadi subjek bagi manusia yang lama kelamaan menjadi objek. Penenun perubahan telah kalah perang dan lantas menjadi budak, anehnya, budak dari perubahan yang ia ciptakan sendiri.

Dunia yang semakin maya walau nyata menyeret banyak pelaku didalamnya untuj berusaha sekuat tenaga berubah tak menjadi dirinya. Tak bisa jujur walau dengan diri sendiri, apalagi dg sekitarnya.

Semacam benang kusut dan rumit semakin lama sulit untuk diuraikan. Fakta dunia yang sedemikian adanya , ditambah lagi dengan kita yang kadang Hanya “bacot”. Seseorang yang belum selesai dengan dirinya sendiri, mustahil menyelesaikan hal yang diluar dirinya.

Walau petir sebagai bukti kecepatan cahaya lebih cepat dari suara. Anehnya, ketika manusia bersuara di suatu area, maka tak usah menunggu lama suaranya didengar oleh seantero negeri. Apalagi dunia Maya.

Modern ini, dengan demokrasi yang harusnya sudah dewasa. Siapa yang takut mengomentari siapa? Hampir seluruh penduduk dunia serasa punya hak istimewa untuk mengomentari banyak hal, walau tak secara langsung berkaitan dengan dirinya.

Siapa yang melarang tukang sabung ayam mengomentari presiden? Siapa yang melarang seorang pemabuk mengomentari sang kiai? Tak ada. Semua sudah kadung seperti ini adanya.

Jika ada nasehat kecil seperti “Lakukan apapun sesuai areamu, kemampuanmu” sempat keluar, mungkin saat ini hanya dianggap bualan. Inilah adalah bukti bahwa hak bersuara telah jauh mengalahkan kewajiban meningkatkan kualitas dari si empunya suara.

Dengan kondisi bernegara yang semakin absurd. Kezaliman dibalas dengan diam. Tak adil rasanya jika menyalahkan salah satu pihak, rakyat atau pemerintah. Si yang punya kuasa belakangan serasa sedang memainkan lakon wayang paling lucu. Penegakan hukum disetting sedemikian rupa, kasus tentang keadilan entah dimenangkan siapa. Maka wajarlah rasanya rakyat yang hanya punya hak bersuara ini lantas melakukannya. Ramai2 digoreng di sosial media. Dibumbui tokoh-tokoh ikut carut marut didalamnya. Inovator dianggap aneh, sedang si nihil prestasi dielu2kan karena hebat dalam “memainkan peran”. Salah pemerintah sepenuhnya? Bukan juga. Walau sistem demokrasi menempatkan rakyat diatas segalanya , namun apakah elok dilihat jika yang harusnya dipimpin berlagak seperti pemimpin?
Segalanya dibabat habis dengan hastag dan berita hoaknya. Kasus yang harusnya bisa diatasi ditingkat regional menjadi seolah masalah bersama, sebangsa dan senusantara.
Diera keterbukaan, mari sama-sama terbuka , minimal, dengan dirinya sendiri. Terbuka dan jujur, mengakui bahwa jika belum mampu menyelesaikan persoalan diri sendiri, maka lebih bijak jika selesaikan dulu. Baru boleh membenahi yang lain. Lakukan peran sebagai rakyat dengan sebenar-benarnya rakyat. Sebagai pemimpin lakukan selayaknya pemimpin. Sadari sebaik apapun anda, tidak akan mampu mengubah segalanya sendirian, apalagi hanya berkomentar.
Mari, mulai hari dengan melakukan hal terbaik sesuai area kita masing-masing. Percayakan mereka, diluar diri, melakukan tugasnya masing-masing.
Mulailah dari diri, keluarga, tetangga, dan kampung halaman. Disanalah area kita saat ini. Area jihad yang menuntut kita bersama-sama mengambil peran apapun. Omong kosong jika ingin merubah Indonesia dengan komentar-komentar tanpa melakukan tindakan. Merubah Indonesia syaratnya bukan tentang siapa pemimpinnya. Merubah Indonesia syaratnya adalah kesadaran dan gotong-royong.

Oleh

Achmad iqbal

Dosen universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

Lakukan sesuai Kemampuan

#

Comments are closed