Tulisan dari ; Tunggul Harwanto

Kehadiran relawan memberi banyak arti dalam kehidupan. Pada satu fase dengan kesadaran penuh, manusia lahir pasti menginginkan keberadaanya memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Baik dimulai dari lingkungan keluarga, pekerjaan ataupun di area yang lebih luas.

Tergerak dengan keinginan untuk berbagi inilah yang membuat banyak orang yang ingin menjadi relawan. Banyak yang bisa dilakukan saat menjadi relawan, misalnya mengajar di daerah pinggiran atau pelosok yang kondisi kesenjangan pendidikannya begitu terasa. Seperti yang dilakukan teman-teman dari Rumah Literasi Indonesia yang terlibat di berbagai program kerelawanan.

Untuk menumbuhkan jiwa kerelawanan memang harus diawali dengan niat yang kuat. Memahami bahwa pilihan jalan menjadi relawan selalu berhadapan dengan masalah dan tantangan. Mampu beradaptasi dan memiliki daya juang yang besar saat menghadapi persoalan di depan mata. Termasuk yang tak kalah penting, relawan harus memiliki jiwa pembelajar sepanjang hayat.

Saya teringat pelajaran penting dari sahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Dzar Al-Ghifari. Yang dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium.

Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat. Ia tertinggal jauh dalam sebuah perjalanan perang. Salah satu dari sahabat menyampaikan kepada Rasul, “Ya Rasul, Abu Dzar tertinggal di belakang”

Mendengar laporan sahabat, Rasul menyampaikan kalimat kepada rombongan perang, “Jika ia orang baik, Allah akan mengembalikannya. Jika ia orang yang tidak baik ia tidak akan menyusul.”

Pasukan yang dipimpin Rasul terus melanjutkan perjalanan, sementara Abu Dzar makin tertinggal. Ia tak kuasa. Karena tunggangannya dalam kondisi sangat lemah tak berdaya. Akhirnya Abu Dzar meninggalkan keledainya dan memikul barang bawaanya sendiri.

Ditengah perjalanan yang cuacanya sangat panas, ia beristirahat dan berteduh di bawah pohon dan bebatuan. Disana ia menemukan genangan air hujan. Namun, ia tak mau meminumnya mendahului Rasulullah. Ia mengisi kantong minumnya dengan air yang ia temukan di lokasi tersebut. Lalu ia bergegas untuk melanjutkan perjalanan menyusul rombongan perang yang dipimpin Rasul.

Dari kejauhan, beberapa sahabat dan pasukan perang melihat Abu Dzar. “Ya Rasul, kami melihat ada seseorang yang menuju arah kita.” Ucap salah satu sahabat.

Benar saja, dengan kondisi keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Lalu Nabi meminta sahabatnya untuk memberikan air kepada Abu Dzar, Tetapi Abu Dzar menjawab, “Saya punya air ya Rasul.”

Rasulullah heran kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, “Di perjalanan saya temukan mata air. Saya mencicipi dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya.” Sentak Rasul terlihat haru mendengar jawaban dari Abu Dzar.

Kisah yang penuh dengan nilai-nilai kesetiaan dan perjuangan Abu Dzar tentu mampu membongkar sudut pandang kita tentang teori Hirarki Maslow. Dimana kebutuhan fisiologis yang berkaitan dengan fisik salah satunya seperti makan dan minum, tak selalu menjadi syarat untuk bisa memenuhi kebutuhan diatasnya.

Artinya tak semua dari kita butuh dengan hal-hal yang paling dasar di dalam kehidupan, apalgi berkaitan dengan materi. Ada orang-orang yang melompat, ia menjadi orang yang sangat produktif dan punya empati untuk melakukan inisiatif. Sosok seperti inilah yang sering kita lihat dari gerak para relawan.

Relawan bisa menjadi manusia yang kontibutif, tanpa banyak mempertimbangkan apakah gerak pengabdiannya mendapat apresiasi atau tidak dari pihak lain. Ia percaya bahwa satu-satunya bentuk penghargaan yang sejati adalah ketika melihat perubahan dan dampak nyata yang lebih baik bagi lingkungan sekitar.

Pada akhirnya, spirit kerelawanan akan terus tumbuh dan bisa mematik nyala bagi orang lain untuk menjadi manusia yang menebar rahmat bagi sesama dan mahkluk hidup lainnya. Menemukan kebahagiaan yang sejati sebagai puncak karir di jalan kerelawanan.

Salam Takzim untuk semua relawan yang terus merawat nyala pengabdian. Semoga pilihan jalan ini senantiasa mendapat ridho dari Allah SWT, termasuk kita meneruskan perjuangan Rasul dan sahabatnya untuk menjadi insan yang menebar kebaikan.

#

Comments are closed