Penulis : Mohammad Hasyim

Diwacanakan penghentian  sementara hingga batas waktu tertentu (moratorium), nyatanya ijin pendirian sekolah-sekolah baru masih saja berlanjut. Hal tersebut dapat dilihat dari membengkaknya jumlah sekolah baru. Hingga penghujung  2022, jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Banyuwangi mencpai angka  fantastik, 220 (dua ratus dua puluh lembaga),  73 SMP Negeri dan 147  SMP Swasta.  Peningkatan jumlah  SMP – negeri maupun swasta – menunjukan betapa tingginya minat masyarakat – perseorangan maupun organisasi – untuk berkontribusi membangun pendidikan di Banyuwangi dengan menyuguhkan satuan pendidikan menengah tingkat pertama.

        Bertambahnya jumlah SMP (negeri-swasta), disatu sisi menggembirakan, disisi yang lain tidak menggembirakan. Menggembirakan karena akan semakin banyak anak-anak usia sekolah bisa dengan mudah mendapatkan akses layanan pendidikan dasar. Juga menjamin kebebasan calon peserta didik untuk bisa dengan gampang memilih sekolah menengah pertama sesuai keinginan dan kemampuan.  Sampai disini, target tersebut telah berhasil dicapai oleh Banyuwangi. Angka partsisipasi kasar pendidikan dasar di  Kabupaten ini telah mencapai lebih dari 100 %.  Hari hari ini mencarai anak-anak usia SMP yang tidak bersekolah hampir-hampir mustahil didapat. Fakta ini  sekaligus juga mengkonfirmasi bahwa program wajib belajar pendidikan dasar telah berhasil dipenuhi oleh kabupaten paling ujung timur pulau jawa ini.

        Sisi yang tidak menggembirakan ? Ya, dipastikan akan  memicu  persaingan ketat antar SMP, yang makin kesini semakin  kurang dan bahkan cenderung  tidak sehat. Persaingan kurang sehat itu akan selalu muncul dan berulang setiap kali penerimaan calon perserta didik baru (PPDB) digelar. Dampak persaingan antar SMP itu pada ahirnya memunculan disparitas antar sekolah.  SMP-SMP besar akan tetap eksis,  makin bertambah besar dan berjaya. Sementara SMP- SMP kecil akan semakin kecil dan hanya berkutat pada bagaimana mempertahankan  eksistensi lembaganya, alih alih bicara soal mutu.  SMP-SMP dengan kepemilikan sumberdaya melimpah akan semakin  kuat dan  hegemonik, sementara SMP-SMP dengan sumberdaya pas –pasan akan semakin lemah dan tak berdaya.

       Tinjau lapang bebrapa waktu terahir memperlihatkan bahwa tidak sedikit  SMP Negeri mengeluh  kekurangan murid baru.  Kepala sekolah mengaku kesulitan untuk bisa mendapatkan calon peserta didik baru apalagi jika harus bersaing dengan SMPN besar dan mapan. Temuan dan/atau keadaan yang sama terjadi juga di SMP swasta. Tidak sedikit SMP swasta yang kekurangan calon siswa baru. Rata-rata Kepala sekolah mengeluhkan persaingan antar SMP yang tidak sehat sebagai dampak dari semakin membengkanya jumlah  SMP swasta  baru. Mereka hanya bisa sekedar bertahan agar sekolah tidak mati,  dicabut ijin operasinalnya dan  beroperasi dengan manajemen ala kadarnya.

       Solusi ?, menutup jurang perbedaan (disparity    valley) antar SMP adalah solusi cepat berjangka panjang  yang    sebenarnya sudah sering digaungkan dibanyak kesempatan, meski nyatanya tidak mudah pula untuk dijalankan. Untuk itu perlu ada kekuatan penekan (power pressure) agar upaya – upaya menutup disparitas antar SMP (negeri-swasta) tersebut efektif dijalankan.

       Dalam kerangka ini dipandang penting Dewan Pendidikan hadir sebagai mediator sekaligus pengawas, sehingga menjamin semua SMP bisa tetap eksis dan sama sama berkontribusi mencerdaskan anak didik secara adil. Penting juga bagi Dewan Pendidikan untuk merekomendasikan dan memastikan  bahwa ijin pendirian/ pembukaan  SMP  baru dihentikan.

       Bagi SMP (negeri- swasta) besar lagi mapan (established) berkomitmen utuk mematuhi aturan main dalam Penerimaan Peserta Didik Baru  dengan misalnya tidak lagi bernafsu  menambah  pagu atau klas baru apapun alasanya. Bahkan jika dimungkinkan. Dan  ini akan lebih elok – jika dengan ihlas hati membatasi atau bahkan mengurangi pagu dari seharusnya untuk dibagikan ke  SMP tetangga yang memiliki sumberdaya dan  peserta didik  dalam jumlah kurang memadai.

     Bagi SMP mapan tentu ini bukan pilihan mudah,  ini adalah sebuah pengorbanan.  Selayaknya mereka menelan egoisme sektoral/personal,  membuka jiwa korsa bahwa  semua SMP –  negeri maupun swasta  –  adalah bagian dari sistem kemasyarakatan yang sama-sama memanggul tanggungjawab masa depan anak Indonesia. Hanya berkorban dengan cara ini maka jurang perbedaan (disparity valley) antar SMP dapat ditutup,  dan fokus pada usaha-usaha peningkatan mutu sekolah dapat dikuatkan.

       Dalam kerangka pengorbanan juga, selayaknya SMP – negeri/swasta- yang sudah mapan dengan tanpa ragu  membagikan pengalaman dalam praktek terbaik (best practise) pengelolaan sekolah ke SMP yang belum/kurang mapan.  Kepala sekolah hendaknya, tanpa diminta sekalipun  siap menjadi mentor, menjadi  bapak / ibu asuh untuk memajukan sekolah yang belum mapan. Pun juga kepala  SMP yang belum/kurang mapan untuk tidak segan berguru  dan menjadi murid kepada SMP yang  telah mapan.

     Penting juga dibangun kesepahaman antara SMP dengan MTs agar sama sama berkomitmen patuh pada azas dalam hal penerimaan calon peserta didik baru sehingga kedua satuan pendidikan dasar beda kementrian ini tetap bisa berjalan berseiring  dalam misis agung kenabian ( prophetic mission), mencerdaskan anak bangsa, mendidik mereka menjadi generasi kreatif, mandiri,bertanggungjawab dan berbudi pekerti luhur.

________________

         Mohammad Hasyim, pengurus Dewan Pendidikan Banyuwangi, pernah menjadi pengawas Dikmen, mengajar di IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

#

Comments are closed