Keterbatasan lahan memang kadang menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pendidik maupun orang tua saat mengajak anak-anak belajar. Paradigma lingkungan sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar masih berkembang luas di masyarakat. Kalau yang namanaya balajar jawabannya sering kali tunggal, yaitu datang ke sekolah.
Sejatinya, jika kita menyebut lingkungan belajar adalah sekolah. Itu artinya kita justru malah mempersempit cara pandang tentang tempat belajar. Apalagi kegiatan tersebut ada di ruang yang berukuran 7×7 meter. Sah-sah saja, yang namanya belajar itu ada di runag yang berdinding dan beratap. Padahal, jika anak-anak diberikan kesempatan berinteraksi dengan lingkungan luar, anak akan mendapatkan pengalaman dan informasi yang kaya karena merasakan langsung dengan panca inderanya.
Terlebih tanggungjawab mendidik tidak hanya dilakukan oleh guru. Orang tua, sekolah dan masyarakat adalah komponen yang tak boleh dipisahkan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang nyaman, aman dan menyenangkan.
Salah satu yang bisa dilakukan oleh orang tua dan pendidik adalah dengan mendesign tempat/lokasi belajar yang berbeda-beda dan unik. Hal ini bisa menambah semangat anak-anak untuk mengeksplore pengalaman baru. Termasuk penampilan guru yang yang berganti-ganti setiap hari, tentu akan membuat suasana penuh warna. Praktik baik inilah yang telah diterapkan oleh PAUD Sahabat Kecil yang bernaung di bawah Yayasan Rumah Literasi Nusantara. Pelibatan orang tua dalam mendidik menjadi sebuah keharusan agar mereka memahami dan mamu memantau tumbuh kembang anaknya.
Nurul Hikmah, selaku Kepala Sekolah mengaku ia bersyukur hidup di pedesaan. Di bawah kaki Gunung Remuk, Desa Ketapang, ia melihat alamnya sangat kaya akan nilai. Pendidik tak perlu kebingungan untuk mengajarkan sesuatu kepada anak-anak karena di sekitar sekolah banyak hal yang bisa jadi materi pembelajaran.
“Cukup langkahkan saja kakimu keluar dari pagar rumah, kita akan bertemu banyak guru kehidupan. Anak-anak kami ajak melihat sungai lalu kami beri pesan-pesan yang positif agar mereka tumbuh rasa cinta terhadap lingkungan dan menjaganya sebagai kekayaan bersama. Mereka juga saya ajak bermain dan belajar di perbukitan dan perkampungan, agar berinteraksi langsung dengan alam dan masyarakat sekitar”, ungkap perempuan yang juga aktif mengelola taman baca di rumahnya.
Langkah awalnya dengan cara menginventaris pontensi lingkungan yang bsia digunakan untuk tempat belajar. Seperti, stasiun kereta api, terminal, kebun, pabrik kerupuk, sawah, sungai, perbukitan, sumber mata air, bandara, industry rumah tangga, kantor desa, komunitas, taman baca dan sebagainya.
Selanjutnya, guru dan orang tua bisa ikut dalam proses belajar bersama anak-anak. Melihat langsung cara anak belajar dan mampu menilai bersama pendidik tentang capaian tumbuh kembangnya. Hal ini akan mendukung bagaimana anak-anak merasakan proses belajar yang menyenangkan sekaligus bermakna.
Belajar harus dirayakan dengan senang hati. Jika sejak awal pembelajaran anak-anak mendapatkan semangat yang dibalut perasaan suka cita, maka selanjutnya akan muncul keinginan untuk terlibat dan melakukan sesuatu. Dengan ini, informasi yang didapat disimpan ke dalam memori jangka panjang.
Selanjutnya, Nurul Hikmah menambahkan tentang misinya untuk terus mengembangakan dunia pendidikan melalui Yayasan Rumah Literasi Nusantara khususnya meningkatkan keterampilan guru-guru dalam membuat metode belajar yang menyenangkan. Dengan menggandeng komunitas yang salama ini konsen dalam pengembangan pendidikan. Salah satunya Komunitas Guru Belajar dan komunitas garakan literasi.
“Saya percaya bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur tanah air ini, salah satunya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, kita tidak bisa lagi kerja sendirian. Semangat kolaborasi ini harus tetap ada agar masyarakat mulai sadar bahwa mendidik adalah tanggung jawab bersama”, jelas Nurul Hikmah.
Comments are closed