Ketika pertama kali memasuki dunia pendidikan anak, saya begitu terkesima dengan kecintaan, kepolosan dan semangat mereka, dan seketika itu juga saya jatuh cinta dengan mereka. Ada semangat dan kecintaan yang besar dalam diri mereka.
Namun ternyata memang semua sisi kehidupan manapun tidak selalu indah. Ada begitu banyak rupa dan sisi kehidupan yang berbeda satu sama lain. Beberapa bahkan pahit dan sakit. Tidak semua anak-anak beruntung dengan hidup mereka, merasakan keindahan dan kebebasan berekspresi, atau bahkan hanya untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Beberapa anak bahkan sangat tertinggal dan kesulitan hanya untuk sekedar berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan beberapa yang lain sangat ‘hidup’ dengan berbagai prestasi akademisnya.
Tidak semua anak selalu bahagia dan tersenyum menikmati dunianya, sebagian dari mereka tersakiti. Jika kita coba ingat masa kecil kita dulu, akan ada salah satu atau beberapa teman kita yang tidak populer di kalangan teman-temannya. Anak-anak yang kesulitan untuk mendapatkan teman karena salah satu kekurangannya. Di sekitar kita ada anak-anak yang bahkan tidak mempunyai kepercayaan terhadap potensi dan kemampuan dalam dirinya. Mereka merasa rendah diri karena mungkin mendapatkan ranking terendah di kelasnya. Lalu kita jadi berpikir, apakah memang sistem kelas seperti ini punya manfaat yang besar bagi murid? Mungkin tidak semua guru menyadari, bahwa ketika seorang anak mengetahui bahwa dia mendapatkan nilai terendah di kelasnya, sedikit banyak lingkaran sosial si anak akan terpengaruh, hal yang mana selanjutnya akan menjatuhkan mental dan kepercayaan dirinya.
Tidak seorang Guru pun berhak memvonis bodoh seorang murid.
Hingga sekarang masih ada anak-anak yang masih terintimidasi di kelasnya, baik secara fisik maupun mental, oleh teman-teman, orang di sekitarnya, atau bahkan gurunya, hanya mungkin karena kondisi fisiknya yang kekurangan, atau karena dia lemah dalam menerima mata pelajaran.
Seorang Adik kelas 6 SD waktu itu sedang memperjuangkan masa depannya. Dia merasa malu terus menerus diejek temannya karena daya pikir otaknya yang terbatas. Sejak kecil dia sering sakit-sakitan sehingga mengganggu sekolah dia. Sewaktu dalam kandungan sang Ibu mengalami kecelakaan dalam perjalanan di Bus, ada benturan keras dalam janin si Ibu.
Sedikit banyak kecelakaan semasa dia kecil juga membuat kemampuan berpikir Adik ini berbeda dengan anak lain. Teman-teman dan tetangga seringkali mengejek ketidakmampuannya, Guru di sekolahnya pun dulu sering membentak dan melakukan perlakuan fisik karena si Adik sangat lambat dalam mencerna pelajaran. Bukan kebetulan juga si Adik berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang sangat terbatas.
Seringkali ketika si Adik mendapatkan intimidasi, maka seketika itu juga dia menjadi rendah diri dan hatinya menciut. Bahkan jika tidak dipaksa, dia tidak pernah menceritakan hal ini ke orang tuanya. Hanya saja muncul perubahan dalam dirinya, mendadak badannya panas dan menjadi sakit hingga berhari-hari, kadang tanpa sepengetahuan orang tuanya, sebelum tidur dia menangis dan menyesali ketidakmampuannya.
Anak-Anak seperti dia sebenarnya membutuhkan dukungan, bukan hal sebaliknya. Bahkan saat itu pun dia masih belum percaya dengan kemampuannya untuk lulus Ujian Nasional. Tingkat kesulitan Ujian Nasional saat ini sangat jauh di atas kemampuan terbatas si adik.
Sangat bisa kita mengerti rasa malu dalam dirinya karena pernah beberapa kali dia tidak naik kelas. Di suatu kesempatan dia pernah mengutarakan keinginannya jika dia tidak berhasil lulus Ujian Nasional, dia tidak ingin tinggal lagi di rumah orang tuanya sekarang, dia berencana pulang ke kampung saudaranya di desa untuk memelihara ayam dan berhenti melanjutkan sekolah. Sepintas kita bisa melihat keputusasaan dalam diri anak ini. Tidak semua sekolah di sini bersedia menerima anak seperti dia. Sekolah menuntut standar yang sangat tinggi. Dalam hati sebenarnya kami sangat terpukul mendengar penuturan dari Ibu si Adik ini. Sangat tidak adil menilai hasil belajar dia selama ini dengan standar nilai (yang baginya sangat tinggi) hanya melalui sebuah Ujian Nasional semata saja.
Dengan semua kerja keras yang sudah dia lakukan selama itu untuk tetap berjuang, dan semua doa Ibu yang selalu menyertai di setiap Shalat malamnya, serta semua usaha teman-teman di sini untuk membantunya, maka kami tidak akan rela jika masa depan Adik ini hanya berhenti sampai di sini.
Mungkin tanpa disadari oleh sebuah Instansi Pendidikan tertentu, satu keputusan bisa jadi membunuh masa depan seorang anak, Atau mungkin justru menghidupkan kesempatan seorang Anak untuk mewujudkan mimpinya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.
Malang, 1 Mei 2012.
Dengan tetap menghormati privasi, penulis tidak menyebutkan nama, instansi dan lokasi pihak yang bersangkutan
Comments are closed