Saya belum bisa move on dari rumahmu.

Oleh Nurul Hikmah

Rumahmu terbitkan mimpi.

Minggu, 22 Oktober 2017, entah minggu yang keberapa kami membuka dan menginisiasi rumah baca mandiri dalam tiga tahun terakhir. Yang jelas ada berpuluh-puluh minggu dalam tiga tahun. Ada ribuan lingkaran disetiap pembukaan rumah baca. Ada ratusan binar mata anak-anak yang menunggu untuk diajak bermain. Dan jutaaan harapan yang telah diimajinasikan dan ditulis dalam pohon harapan.

Kali ini kami membuka rumah baca ke 51. Rumah baca Tabassam, Desa Labanasem yang dikelola oleh pemuda desa Labanasem. Meski belum mendapat dukungan dari kepala desa Labanasem, para penggeraknya terus bertekad untuk mendirikan rumah baca sejak Agustus lalu.

Pagi itu, kira-kira kurang dari 300 meter, saya melihat rumah mungil nan sederhana dengan selembar baner dipojok kanan bertuliskan rumah baca tabassam membuat saya terpaku. Rumah yang ditinggali oleh kak novi, sebagai penggagas Rumah Baca Tabassam, seperti memiliki energi besar yang mampu menarik energi anak-anak usia SD hingga SMA untuk datang melakukan aktivitas baik dan positif. Aktivitas seperti belajar dan bermain ala anak-anak desa.

Stok buku yang masih minim bukan halangan bagi novilla dan penggerak yang lain untuk tidak turut mengkampanyekan penting nya membaca sejak dini.

Kak novilla yang masih kuliah awal di Politeknik hadir sebagai penggerak literasi di desa Labanasem. Rumah sederhana yang tak menandakan keangkuhan penghuninya, membuat saya terpaku. Pikiran saya kemana-mana. Hati saya haru. Justru mimpi itu juga saya temukan di rumah ini. Rumah yang penuh kesederhanaan itu dihuni oleh banyak mimpi dan kepedulian.

Sejak ikhtiar kampanye ini bergulir, kami percaya, jika lahir rumah baca baru maka disitu pula akan lahir seorang bahkan puluhan orang relawan dengan optimisme dan kepedulian. Keyakinan inilah yang sedang terus kami jaga dan rawat konsistensinya. Bahwa masih banyak yang peduli atas permasalahan sekitar. Kepedulian untuk ambil tanggung jawab atas kondisi darurat pendidikan kita hari ini. Rumah Baca hadir untuk turut ambil peran dalam mendidik dan terdidik.

PAUSE

Adakah yang bisa saya banggakan pada generasi saya? Apa yang membuat saya bisa bangga pada generasi saya? Sebuah monolog singkat yang pernah saya pertanyakan pada diri saya sendiri.

Dahulu. Saat kuliah. Saat saya sedang mencari “keteladanan” yang bisa saya banggakan di negeri ini. Dulu. Saat televisi (terutama) memporak-porandakan pikiran remaja kita dengan tayangan-tayangan yang melibas habis optimisme kami. Soal narkoba, korupsi, pornografi, AIDS, tereduksi nya makna pendidikan, krisis keteladanan, dan masih banyak lagi soal pesimisme lain yang di tawarkan dari negeri ini. Harapan yang selalu tumbang seketika ketika melihat semakin banyak tingkah pola pejabat, pemodal bahkan pendidik yang justru memberikan contoh tak mendidik.

Itu dulu. Sekarang? Sudah selesaikah kebingunganmu?
Belum.
Sudah cukup bangga kah dengan generasi mu?
Kalau pertanyaannya ini, jawaban saya Iya.
Saya bangga. Meski harus terus berjuang membuktikannya. Paling tidak, ikhtiar, adalah satu-satunya jawaban untuk memperbaiki keadaan, kebingungan dan pesimisme generasi kami. Paling tidak sekarang saya sudah memiliki jawabannya. Kenapa saya harus bangga pada generasi saya. Dan sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan. Dan kenapa saya harus kerja keras untuk itu. Generasi yang kita hadapi hari ini adalah generasi cepat bahkan super duper cepat.

Digital society itu sebutannya. Masyarakat digital. Kita (orangtua) hari ini tak ada yang memiliki pengalaman untuk menghadapi era digital. Era digital datang begitu saja. Kita dipaksa menghadapinya tanpa petunjuk apapun. Kita disuruh banyak-banyak belajar dimanapun dan kapanpun. Itu mengapa kolaborasi adalah hal yang tak boleh ditolak dan tak tertolak. Tak ada pilihan lain selain hand in hand for a better digital society (colaboration). Mari Berkolaborasi mendidik dan terdidik untuk kita hari ini yang menjadi masyarakat digital. Mari ambil peranmu!

#

Comments are closed