Saya turut prihatin dengan pengusiran satpol PP kepada relawan literasi yang setiap minggunya menggelar lapak baca di Taman Blambangan. Saya kenal baik dengan para pegiat ini, baik dari Rumah Literasi Indonesia dan komunitas Baca Semenjana. Tentunya sangat apresiatif dengan gerakan kawan-kawan ini.

Pengusiran lapak baca di Taman Blambangan ini tentu sangat menodai semangat Banyuwangi yang sedang gencar membangun infrastruktur publik kotanya apalagi mewacanakan diri sebagai kota welas asih, kota inklusi. Betapa tidak, biasanya budaya birokrasi sangat sulit menyentuh level pendekatan “kreatif” dalam membangun fasilitas publik dengan melibatkan arsitek. Bahkan saat ini Pemkab menggandeng para bintang arsitek Indonesia yang dikenal memiliki portofolio karya dan pemikiran yang berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur kontemporer Indonesia. Memang langkah ini bisa dilihat sebagai strategi gimmick, tapi kebijakan ini memiliki sisi positif dalam upaya mengubah paradigma birokrasi yang biasanya membangun fasilitas publik tanpa perencanaan yang jelas, alih-alih menjadikan arsitektur sebagai simbol peradaban zaman di sebuah kota.

 

Lalu apa sih hubungannya dengan peristiwa pengusiran komunitas literasi di taman Blambangan kok ya dihubungkan dengan arsitek dan arsitektur segala?

Begini, lihat beberapa tahun lalu ketika taman Blambangan ini di kelilingi pagar besi dengan kualitas estetika yang tidak menzaman (hiks), apalagi pedestriannya cukup sempit. Kala itu menandakan tidak ada kesadaran dari pemegang kebijakan akan pentingnya ruang publik kota sebagai ruang sosial bagi warganya. Ditambah lagi penataan lansekap yang minim vegetasi peneduh. Mungkin kala itu masih terwarisi budaya rezim orde baru pada benak pikiran para policy maker kita. Pemerintah memiliki kontrol penuh pada ruang publik dengan simbol pembatas tegas pada ruang-ruang publik kota. Peristiwa ini mengingatkan kembali pada Tugas Akhir saya beberapa tahun silam yang mengangkat kembali Desain Pasar Tradisional selain sebagai ruang ekonomi juga sebagai ruang publik kota yang rekreatif. Topik ini menuntut saya untuk mencari kajian tentang ruang publik perkotaan, dimana menemukan pendapat menarik dari Hannah Ardenth dalam Human Condition. Menurutnya, semua lapisan masyarakat memperoleh hak atas politik melalui tersedianya fasilitas yang mewadahi aspirasinya. Dalam konteks ruang kota, ruang publik menjadi fasilitas sebagai ruang sosial dan hak politik berbagai warga, sehingga terjadi hubungan dan komunikasi antara pemimpin dan masyarakatnya.

Kini perubahan itu bisa kita lihat dan rasakan, dengan dibongkarnya pagar pembatas dan pelebaran pedestrian yang sangat “walkable”. Nampak adanya street furniture dan sarana olahraga yang sangat memadai. Apalagi taman Blambangan ini memang dirancang terintegrasi dengan ruang pertunjukan budaya dengan latar belakang Candi Bentar yang sangat fungsional. Rupanya pemerintah sadar akan peran dan pentingnya ruang publik kota seperti Taman Blambangan ini, sehingga melakukan langkah revitalisasi pengembalian fungsi yang semestinya. Tentu arsitek-arsitek pilihan Pak Bupati memiliki peran penting dalam upaya revitalisasi taman ini, karena beliau-beliau saya rasa memiliki sensitivitas yang tinggi dalam merespon isu-isu perkotaan.

Taman Blambangan biasa disebut alun-alun kedua setalah Alun-alun Sritanjung (alun-alun utama yang menjadi simbol kosmologis karakter tipikal kota-kota Jawa). Taman Blambangan selain memiliki fungsi sosial seperti yang saya sebutkan di atas, keberadaanya memiliki fungsi ekologis sebagai paru-paru kota, ruang terbuka hijau (RTH). Idealnya setiap kota memiliki RTH minimal 30% yang terbagi dalam beberapa klasifikasi, termasuk taman Blambangan ini yang masuk kategori RTH pertamanan yang memiliki fungsi ekologi, sosial, ekonomi, budaya dan estetika.

Berkaca pada fungsi Taman Blambangan yang sebagai ruang publik kota, sudah tak semestinya kebebasan berekspresi dalam memanfaatkan fasilitas ruang publik dilarang dan dibatasi. Apalagi sudah jelas, kegiatan yang dilakukan oleh kawan-kawan pegiat literasi hadir di taman Blambangan ini karena merasa layak dan nyaman untuk menggelar lapak bacanya. Ruang kota yang baik memicu munculnya aktivitas baru tentunya. Disinilah goal utama kenapa perencanaan ruang kota itu begitu penting. Karena pada dasarnya, pembangunan ruang-ruang publik perkotaan adalah upaya mendorong terciptanya ruang kota yang hidup dengan aktivitas yang positif sehingga terbangun budaya kreatif warganya.

Peristiwa pengusiran lapak baca di taman Blambangan ini menunjukkan sebenarnya di Banyuwangi walaupun pembangunan infrastruktur fisik “bisa dikatakan cukup baik”, namun belum berhasil membangun budaya gerakan ekspresi kreatif warganya di perkotaan. Apalah arti pembangunan ruang publik kota jikalau tindakan-tindakan penertiban tanpa alasan yang jelas seperti ini masih terjadi? Bukankah ini sama saja mematikan kreativitas warganya untuk berekspresi secara independen di ruang publik?

Pantas saja, Saya perhatikan gerakan masyarakat masih terpaku pada ketergantungan dan hegemoni birokrasi (pemerintah). Tidak salah sih, tapi alangkah baiknya jika makin banyak gerakan masyarakat yang memang tumbuh dari bawah dengan adanya ruang-ruang publik kota, tentunya gerakan positif yang menambah keberagaman ekspresi kebudayaan berkota di Banyuwangi.

Arif Wibowo
Pegiat arsitektur di Arsitek Muda Banyuwangi (AMB)

#

Comments are closed