Jika selama ini pandangan penggerak literasi hanya melulu soal buku harap di cek ulang tentang caranya bergerak. Mestinya, kita harus lebih adaptif. Berapa banyak perpustakaan keliling yang mati suri akibat kurangnya kreativitas dalam menarik pengunjung. Buku dibawa kemana mana, kadang pengelola perpustakaan keliling juga tidak tahu buku apa yang sedang dibawa. Pokoknya jalan aja, ibarat orang jualan “yang penting yakin”. Lihat ada kerumunan, berhenti sebentar “buka lapak” disana. Meskipun tidak ada yang beli. Yang penting yakin.

Jika kita hanya mengandalkan buku dan “yang penting yakin” tanpa sentuhan kreatifitas maka siap siap kita bakalan dipanggil “mamang penjual buku” jangan heran kalau ada yang datang ke lapak kita untuk menawar buku.

“berapaan harganya mas? ” .

Sakit sih, tapi tidak berdarah. Pengalaman itu saya sudah dapati berkali kali kalau kita tidak persiapkan tools atau tema setiap kali literasik. Oh ya literasik adalah salah satu program di rumah literasi banyuwangi yaitu mendekatkan buku kepada masyarakat,  mendekatkan diskusi pada masyarakat.  Caranya?  Kita gelar tikar duduk bersama disana sambil baca buku dan berdiskusi. Ruang baca dan lingkungan diskusi gratis semacam ini perlu diperbanyak jumlahnya agar awareness masyarakat tentang pengetahuan semakin meningkat.

Penggerak literasi paham betul bahwa masyarakat butuh didekatkan dengan buku.  Tetapi yang menjadi soal adalah bagaimana orang bisa duduk, gayeng, ikut baca satu buku Atau lebih sampai habis? Itu menjadi PR tersendiri bagi penggerak literasi.

Banyak cara sebenarnya yang bisa dilakukan, yang mudah adalah membawa permainan anak anak. Entah itu ular tangga raksasa, egrang,  origami atau apapun yang bisa menarik perhatian anak anak.  Ini adalah salah satu trik menarik orang dewasa membaca. Ssst…. Jangan bilang bilang ya,  ini rahasia.

Tahukah teman teman bahwa rumah makan ayam siap saji asal amerika yang tahun 2010 memiliki aset US$ 31.975 bilion,  mekdi, itu punya target anak anak. Sering sekali kita lihat mekdi bagi bagi mainan anak di setiap paketnya. Warna brandingnya pun warna warna ceria merah kuning, mengapa demikian? Karena memang ingin menyasar anak anak. Bahkan di dalam restaurant nya disediakan tempat bermain anak gratiss. Pertanyaannya kenapa sih harus anak anak? Okay yuk kita bedah.

Tidak mungkin, anak anak makan sendiri tanpa didampingi orang tua. Tidak mungkin anak anak yang merengek minta main ke tempat bermain mekdi tanpa orang tua, dan tidak mungkin orang tua hanya mengajak anaknya bermain tanpa membeli minimal salah satu paketnya. Banyak dari anak anak kalau sudah di iming imingi mainan bakalan milih mainannya dari pada makannnya.

Itulah alasan, kenapa anak anak harus disasar.  Mungkin awalnya, ibunya tidak tertarik untuk membaca buku tapi karena anaknya merengek minta main ke arena literasik maka ibunya baca buku,  anaknya bermain.  Kebutuhan yang sama sama terpenuhi.

Pernah kita mengadakan seminar parenting,  tidak hanya seminar, tapi kita sediakan permainan permainan anak di pojok belakang tempat seminar. Dan itu menjadi daya tarik. Banyak mahmud(Alias mama mamah muda yang kadang ngerasa kerepotan kalau mengajak anak) yang ikut dengan alasan  ada pojok bermainnya.

Kebutuhan anak terpenuhi,  begitu juga mamaknya. Banyak hal yang harus dikuasai oleh penggerak literasi selain kemampuan untuk menggelar tikar dan buku bacaan. Kemampuan publik speaking Untuk mengajak orang tua dan anak.  Kemampuan bersabar menghadapi anak. Kreativitas dalam bermain.

Banyak yang harus dipelajari dan perlu dikembangkan. Agar kita tak disebut “mamang penjual buku” dan tak ada lagi yang menawar buku kita.

Kadang suka heran sama pengelola baru yang menanyakan pada kami, “bukunya bagaimana?”, ” kami tak punya banyak buku untuk mendirikan rumah baca” . Banyak rumah baca mandiri yang berafiliasi di rumah literasi indonesia awalnya memiliki sedikit sekali buku. Tetapi,  memiliki banyak gagasan dan mimpi. Justru yang lebih berjalan adalah rumah baca yang memiliki visi di awal.  Karena visi itu lebih menggerakkan daripada sibuk menanyakan “bagaimana bukunya? “.

Sering kami mendengar pertanyaan seperti ini “saya ingin buka rumah baca, tapi bukunya masih sedikit, bagaimana kak? ” biasanya yang bertanya seperti ini niatnya hanya sebatas “keinginan”. Sampai dua tahun pun keinginannya masih sama.  Sama halnya ditanyai apa resolusimu tahun ini? Jawabannya sama seperti resolusi tahun kemarin. Cuma sebatas “ingin”. Kita ambil contoh,  rumah baca pos kamling atau rumah inspirasi, karena bergerak terus akhirnya telkom membantu pengadaan wifi dan komputer. Ini bukan soal fisik, tetapi soal cita cita.

Selalu semangat untuk penggerak literasi dimanapun kalian berada.

Salam literasi.

 

___________________________________________

Rahmadinata Syafa’at S.SI

Relawan di Rumah literasi Indonesia yang kebetulan menjadi Staff Desa di desa literasi ketapang.

Comments are closed