“Kemampuan membaca itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca; sebuah kebahagiaan.”
― Goenawan Mohamad
Kutipan Goenawan Mohamad diatas sepertinya sangat tepat, bahwa kemampuan membaca adalah rahmat. Mengapa? Salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki manusia agar mampu melangsungkan kehidupan ini adalah membaca. Dengan membaca manusia yang dibekali perangkat lunak berupa akal atau pikiran oleh Sang Pencipta akan berfungsi dengan baik ketika manusia mengasahnya dengan cara terus belajar.
Membaca tidak hanya keterampilan membunyikan huruf saja. Membaca dalam arti yang lebih luas adalah kemampuan melek informasi sehingga manusia tersebut bisa menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mencintai belajar dan tumbuh sesuai kodratnya.
Sayangnya hari ini budaya membaca masyarakat di Indonesia masih tergolong rendah. Beragam artikel, riset atau survey yang berkaitan dengan minat baca masyarakat menunjukkan hasil yang miris. Berdasarkan penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) 2012, Indonesia ada di peringkat 60 dengan skor 396 dari total 65 peserta negara untuk kategori membaca. Sementara skor rata-rata internasional yang ditetapkan PISA adalah 500
Capaian ini turun dibandingkan peringkat Indonesia pada 2009 yakni di urutan 57 dengan skor 402 dari total 65 negara. Sedangkan pada 2006, Indonesia menduduki peringkat 48 dengan skor 393 dari 56 negara.
Melihat kondisi diatas, komunitas Rumah Literasi Banyuwangi memiliki ikhtiar untuk mengambil peran dalam memngkampanyekan budaya membaca. Melalui program Gerakan 1000 Rumah Baca (#1000RumahBaca), relawan yang bergabung dan bersinergi dengan RLB telah berhasil mengelola 50 Rumah Baca yang tersebar hingga ke pelosok desa di Kabupaten Banyuwangi.
Salah satu program yang rutin dilaksanakan setiap minggunya adalah Kelas Relawan. Sebuah forum belajar bagi relawan pengelola rumah baca maupun mereka yang baru atau mulai tertarik berpartisipasi dalam gerakan literasi.
Kali ini agenda Kelas Relawan mengundanghadirkan 2 Narasumber yang sudah banyak menghasilkan karya. Yang pertama, Wina Wibowo, perempuan asli kelahiran Bojonegoro yang sudah merilis12 buku ini berbagi ilmu tentang “Tips Menulis Hingga Tembus Media”.
Dalam pemaparan meterinya beliau menjelaskan bahwa, menulis itu kegiatan yang menyenangkan meskipun terkadang berat untuk memulainya.
“Agar skill menulis kita semakin baik jawabannya selalu tunggal. Yaitu membaca, membaca dan membaca…. Lalu setiap mengakiri aktivitas membaca, rajinlah untuk menulis kembali apa informasi yang ditangkap dengan bahasa penulisan sendiri”, jelas perempuan yang juga sebagai Founder Omah Padma.
Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa saat ini banyak penulis yang melakukan plagiasi, hal ini harus dihindari karena plagiasi adalah perbuatan yang melanggar etika dan hukum. Kalau pun ingin mengutip karya orang lain maka harus mencantumkan asal sumbernya.
Menulis juga hal yang tidak sederhana yang dibayangkan. Kenapa? Selama ini yang dilakukan oleh WIna Wibowo saat menulis, beliau membutuhkan riset yang mendalam. Perlu banyak menggali informasi dari beragam sumber sebelum ia menuangkan isi pikirannya dalam bentuk cerita pendek ataupun artikel.
“Saya sempat menulis novel yang isinya tentang kisah mahasiswa kedokteran, maka saya harus banyak menggali informasi tentang istilah medis, karena saya tidak memiliki background pendidikan kesehatan. Sumbernya bisa dari internet maupun bertanya langsung ke teman-teman yang berprofesi menjadi tenaga kesehatan”, Jelas Wina.
Selain tema menulis, berkesempatan juga hadir pemuda desa yang berhasil berbagi cerita tentang pengalamanya menembus pasar export melaui usaha kerajinan tangan. Nurahmadi, laki-laki yang berdomisili di Dusun Pancoran, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, hanya mampu mengenyam pendidikan sampai lulus Sekolah Dasar.
Meski beliau hanya lulusan SD, cita-cita dan gagasannya begitu besar. Saat ini beliau berhasil mengelola yayasan pendidikan. Bersama sang istri, beliau mengelola TK dan PAUD Alfirdaus yang lokasinya di tengah perkebunan. Terdapat 25 siswa yang saat ini belajar dan bermain di sekolah tersebut.
“Saya prihatin dengan akses pendidikan yang jaraknya jauh dirasakan warga, belum lagi kondisi jalan yang berbatu dan licin ketika musim hujan. Sempat saya pernah bertemu dengan seorang ibu yang menggendong anak kembarnya untuk diantar ke sekolah yang jaraknya sekitar 7 kila dengan jalan kaki”, ungkap laki-laki yang juga menekuni dunia kerajinan tangan.
Usahanya yang jatuh bangun membuat Nurahmadi kaya akan pengalaman. Mulai dari usaha kerajinan di Kabupaten Jember beliau sudah mampu mengelola 50 pengrajin dan hasilnya sudah diexpor ke Negeri Matahari Terbit, Jepang. Kemudian sempat bangkrut dan merintis kembali di kampung halamannya.
Selanjutnya Nurahmadi kembali fokus mengembangkan kerajinan dengan bahan dasar bambu dan pakis hutan bersama warga setempat. Bahkan awal merintis usaha, beliau rela memberi uang transport agar warga dusun mau datang ke rumahnya untuk dilatih keterampilannya dalam menganyam bambu, rotan dan pakis. Mulai dari membuat tas, dompet, keranjang kecil, kipas, tempat tisu dan beragam aksesoris lainnya.
Selama 3 tahun usaha kerajianan ini berjalan cukup prospek. Sayangnya, saat ini usaha kerajinan yang beliau rintis sudah dikelola oleh pihak lain, terutama sejak kedatangan investor asing yang datang langsung ke para pengrajin tanpa melalui perkumpulan yang beliau gagas.
“Sempat saya mengelola 200 pengrajin, produknya saya kirim ke luar negeri. Namun saat ini usaha saya sudah diambil alih wpihak dan dikelola langsung oleh investor”, jelas Nurahmadi.
Meskipun saat ini usahanya tidak dikelola langsung oleh Nurahmadi, beliau tetap bangga masih ada warga yang menjaga semangat untuk membuat karya di bidang kerajinan. Tahun ini beliau akan meneruskan cita-citanya mendirikan Rumah Tanam Firdaus yang visinya untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat agar muncul kesadaran dalam melihat alam sebagai potensi / sumber daya yang bisa mendukung kesejahteraan masyarakat lokal. Bahkan beliau tak canggung menyampaikan gagasannya untuk mendirikan sekolah tak hanya TK dan PAUD, namun hingga mendirikan Universitas.
Selain kedua narasumber, acara Kelas Relawan juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni pantomime dari Negri Dongeng Performance Institute berkolaborasi dengan Teater Langgas. Selama ini kedua komunitas seni tersebut sering membuat karya kolaborasi dengan relawan. Dalam waktu dekat mereka akan tampil dalam perhelatan Hari Teater Sedunia di Surabaya. Menariknya para pemain teater adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang selama ini menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa Kalipuro.
Comments are closed