Oleh : Afin Yulia

Tidak pernah terlintas dalam hidup saya untuk memasuki dunia penddikan, apapun bentuknya. Itu bukan dunia saya. Tidak heran saat saya lulus SMA, saya memilih melanjutkan ke fakultas yang tentu tidak berhubungan dengannya. Akan tetapi di akhir tahun 2007, kala saya aktif kuliah di FE UB, sesuatu justru menarik saya ke sana. Ya, saya bertemu dengan teman-teman yang mau berjuang demi kemajuan dunia pendidkan. Terutama pendidikan untuk anak. Melihat kiprah mereka, akhirnya saya pun tertarik ikut serta. Dan sejak itu saya aktif di komunitas Aksara.

Di komunitas ini ada banyak hal yang dilakukan. Membuka kelas teater, bahasa asing (Rusia dan Jepang), hingga sains merupakan kegiatan yang rutin kami laksanakan. Bahkan banyak mahasiswa asing yang berasal dari program pertukaran pelajar terlibat. Namun tidak hanya itu saja yang kami lakukan. Secara periodik event untuk anak, seperti Festival Permainan Tradisional dan Malang Children Summit, juga diadakan.

Sayangnya usai kuliah aktivitas semacam itu praktis saya tinggalkan. Bahkan bersinggungan pun tidak. Kesibukan kerja telah merampas  waktu saya, hingga saya tak punya lagi waktu untuk terlibat dalam kegiatan semacam itu. Akan tetapi, akhir tahun 2017, Allah mempertemukan saya kembali dengan rekan-rekan RLB. Di mana mereka memiliki napas perjuangan dan semangat yang sama dengan komunitas Aksara. Saya merasa seperti kembali ke rumah lama.

Pada akhirnya, obrolan dengan Kang Tung, memantik saya untuk untuk kembali melakoni kegiatan seperti dulu kala, sewaktu masih aktif di komunitas Aksara. Salah satunya dengan mengisi kelas-kelas di RLB. Pertanyaannya kemudian “Enaknya mengisi kelas apa?”. Dari obrolan lanjutan kemudian lahir ide untuk memulainya dengan kelas dongeng terlebih dahulu. Kenapa kelas dongeng? Karena kita ingin menarik minat mereka terlebih dulu. Setelah itu barulah adik-adik diarahkan untuk belajar berbagai hal, seperti teater, sains, dan lain-lain. Kebetulan dunia dongeng tidak asing untuk saya. Dulu saya suka senang menulis cerita untuk anak-anak juga. Jadi saya optimis saja melakukannya.

Tidak seperti yang saya bayangkan, ternyata mengisi kelas dongeng tidak mudah. Terus terang usai beraksi di depan adik-adik tanggal 14 Januari silam, saya merasa gagal. Saya kurang mampu menciptakan impresi di depan mereka. Mendadak ini menyadarkan saya betapa dunia kerja telah membuat saya kehilangan banyak hal, salah satunya adalah cara saya berkomunikasi dengan mereka yang harus dikalibrasi ulang. Persis seperti pepatah Jawa yang kerap saya denganr “Nek lading ora tahu diungkal, ora tau digawe, bakale gabluk”. Tetapi, bagaimanapun juga saya masih bersyukur. Seandainya hari itu saya tidak mencoba, saya tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya.

Akhirnya ada satu harapan saya, semoga dengan segala keterbatasan saya tetap bisa bersinergi dan berkontribusi di RLB. Dalam bentuk apapun yang saya bisa lakukan atau kerjakan di sana.

 

Ditulis ulang dari hasil wawancara dengan Mas Wahyu

#

Comments are closed