TANAH WAKAF DAN TENTANG MEWAKAFKAN DIRI
Kala itu, tahun 2009.
Saya tengah mewujudkan mimpi yang saya tulis diselarik kertas. Mimpi itu adalah ingin memiliki sebidang tanah untuk membangun rumah baca. Setelah saya tulis, mimpi itu saya ceritakan pada laki-laki separuh baya. Laki-laki separuh baya itu diam mendengarkan mimpi saya. Barangkali ia heran, ini adalah permintaan besar saya yang pertama dan satu-satunya padanya. Tak pernah minta ini itu, tiba-tiba saya minta tanah.
Kata Rene suhardono, dalam buku UltimateU, jika kamu mengkomunikasikan mimpimu (idemu) pada orang lain, itu berarti kamu meng-uang-kan mimpimu.
Mimpi sudah. Tulis mimpi sudah. Membaginya/menceritakan/mengkomunikasikan mimpinya pun sudah. Sekarang tinggal ikhtiar yang lain.
MengKomunikasikan ide itu sama dengan “menguangkan”. Ingat itu, kata Rene.
Kala itu rasa-rasanya mustahil bagi saya untuk bermimpi memiliki tanah demi membangun dan menata “peradaban” di desa. Kala itu, kami tak ada uang. Yang ada adalah segala keterbatasan dan ikhtiar kami (yang tersembunyi) yang hanya Tuhan yang tahu. Lalu, saya iseng menuliskan uang sebesar seratus juta dalam selembar uang seribu rupiah. Bahwa dalam membangun rumah baca dibutuhkan uang seratus juta, pikir saya kala itu.Tulisan itu memang iseng, tapi serius juga sih (ngedipin mata sama Tuhan?).
Waktu bergerak. Mimpi membangun rumah baca, saya titipkan semesta. Dan saya memutuskan terus berlayar (berjuang) meski dengan kayu gelondongan saja. Ikhtiar-ikhtiar kecil saya lakukan. Sejak 2009 saya niati mengumpulkan buku-buku terbaik/pilihan. Dengan setiap kali membeli buku, saya berdoa (mbatin) bahwa buku-buku yang saya beli ini untuk adik-adik saya di desa. Berharap setiap inspirasi yang saya dapatkan dari buku tersebut dapat juga dirasakan dan diakses adik-adik di desa.
2011 Akhir.
Saya mulai buka rumah baca dengan menggunakan ruang ukuran 2×4 di rumah keluarga. Mengumpulkan anak-anak sekitar rumah. Berkegiatan dengan mereka. Mendampingi mereka belajar dan bermain. Membeli rak buku. Lalu mulai memperkenalkan buku yang saya kumpulkan sejak 2009. Saya masih ingat, buku inspiratif pertama yang saya bacakan buat mereka adalah, novel laskar pelangi. Novel inspiratif untuk anak desa seperti mereka. Stimulus awal yang cukup berhasil dalam kampanye baca kepada anak-anak. Anak-anak khidmat mendengar cerita Ikal, Lintang dan Harun. Cerita nyata, perjuangan anak kampung yang tak memutuskan asanya dalam bersekolah.
Gampang sekali sesungguhnya membangun rumah baca, jika yang kau bangun hanya soal fasilitas (fisik) rumah baca. Jika niatmu adalah membangun budaya dan manusianya, maka rumah baca tak sekedar bangunan. Ia adalah proses spiritual sang relawan. Mewakafkan diri untuk kemaslahatan. Menjadi Relawan rumah baca harus memikirkan bagaimana rumah bacanya sustain. Bagaimana rumah baca bisa berkembang. Bagaimana si pengelola (relawan) juga bisa terus hidup dari kerelawanan nya? Bagaimana ia dan apa yang dilakukannya bisa berdampak. Karena godaan paling mengancam dalam membangun rumah baca dan sikap kepedulian seorang relawan adalah tentang keistiqomahan dan menjaga integritasnya sebagai relawan.
Jelang 2012 akhir.
Entah bagaimana semesta bekerja. Keterbatasan akal saya tak mampu menerkanya. Laki-laki paruh baya itu menghungbungi saya, waktu itu saya di Jember. Ia berkabar melalui telepon. Suaranya diujung telpon terdengar gemetar bercampur bahagia. Ia mengabari bahwa ia ditawari tanah seluas 800 m2, seharga seratus juta oleh seseorang, hanya dengan membayar 50 juta rupiah sebagai DP. Selanjutnya boleh dicicil pembayarannya. Saya speechless mendengar ceritanya. Laki-laki itu melanjutkan kata-katanya, bahwa tanah itu untuk saya.
Saya mbrebesmili.
Mata saya mendadak panas.
Air mata jatuh berkali-kali.
Tak satupun kata terucap.
Pikiran saya menerobos langit.
Mengetuk Arsy Tuhan.
Tuhan sibuk bekerja.
Sujud syukur saya tak henti.
Laki-laki separuh baya itu membayar DP tanah tepat di bulan Oktober tahun 2012. Dan tepat di awal tahun 2013, tanah itu mulai ‘bergerak’ membangun. Dari mana semua dana pembangunan awal diperoleh? Dari Tuhan, itu jawaban saya pada pertanyaan yang saya ajukan pada diri sendiri.
Tahun ini, 2018 awal, Alhamdulillahirobbilalamin, tanah itu akhirnya lunas. Dengan segala rizki yang Tuhan anugerahkan, kami membangun. Tanah itu diwakafkan seluruhnya pada aktivitas sosial dan pendidikan. Tanah itu adalah mimpi yang saya titipkan pada semesta. Tanah itu adalah tanah yang tiga tahun terakhir ini dijadikan tempat teman-teman relawan belajar, berdiskusi, melatih sabar, mempertajam empati, ruang berkarya, berbagi, bergerak dan bermakna.
Dan Laki-laki separuh baya itu adalah Bapak.
Ia ayah saya.
Terima kasih atas segala ikhtiarnya, Pak. Saya hanya bisa melanjutkan keistiqomahan Bapak di jalan ini. Semoga bermanfaat fiddunya wal akhiroh.
Syukur saya kembali, akhir bulan lalu, 21 Februari 2018, tanah itu resmi menjadi yayasan. Yayasan itu bernama : Rumah Literasi Nusantara. Yayasan tempat banyak orang belajar. Insyallah. Semoga diistiqomahkan dan ditetapkan integritasnya. Wallahua’lambishowab.
Pause.
Dari seluruh paragraf diatas, ada banyak lipatan cerita yang belum sepenuhnya tertulis. Dan hampir seluruh lipatan cerita yang tak tertulis itu adalah tentang rintangan, hambatan, nyinyiran, keputusasaan, kesedihan dan sederet keterbatasan dan ketakberpihakan dalam membangun mimpi. Saya memutuskan untuk tak menuliskannya. Titip cerita sama Tuhan saja???
Tulisan seratus juta pada selembar uang seribu itu jadi saksi. Seratus juta adalah modal awal membangun Rumah Baca Sahabat Kecil ??. Berjuta-juta selanjutnya dibutuhkan Rumah baca Sahabat Kecil untuk pengembangannya. Dari mana kami peroleh dana itu? Bekerja Lah bersama Tuhan. Ia Maha Kaya.
Kata siapa membangun rumah baca tak butuh biaya? Kata siapa menjadi relawan itu hanya sekedar pekerjaan sambilan saja? Bukan menjadi bagian dalam hidup? Relawan itu seperti makanan halal yang kamu makan. Ia akan menjadi darah dan membentuk karakter dalam dirimu.
*laki-laki (depan)) dalam foto itu alhmarhum kakek saya. Alhamdulillah ia sempat menjadi relawan bersama saya. Ia tahu cucunya bersama kawan-kawannya sedang berjuang.
___________________________________________
Co founder Rumah literasi banyuwangi, Pengelola Rumah Baca sahabat kecil ketapang, pengajar di PAUD sahabat Kecil, dan relawan rumah literasi indonesia
Comments are closed