“…apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka”.
(Y. B. Mangunwijaya)

Banyaknya generasi muda yang mengenyam pendidikan diberbagai pesantren dan perguruan tinggi menjadi aset berharga yang dimiliki bangsa ini. Walaupun tak jarang mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi terjebak untuk “mengeksklusifkan” diri. Mereka yang berpendidikan tinggi akan teralienasi di lingkungannya sendiri dan biasanya mengurung diri dan enggan bersosialisasi. Mereka merasa bahwa level pemikiran orang-orang dilingkungannya sudah jauh di bawahnya sehingga merasa tidak nyambung ketika melakukan komunikasi. Sikap eksklusif inilah yang menggiring generasi muda untuk tidak peduli dan menjauhkannya dari esensi sebagai kaum terdidik. Sehingga banyak dijumpai sarjana pertanian yang enggan belajar bersama para petani desa dan turun kesawah, sarjana perikanan tak banyak membagi ilmunya, bahkan lebih banyak sarjana ekonomi yang tak sempat memikirkan kemajuan ekonomi masyarakat sekitarnya, atau lebih parahnya jebolan pesantren ternama yang tak mau merangkul warga yang salah kaprah. Masih banyak contoh-contoh lainnya. Lantas yang ideal itu seperti apa?
Cost and benefit analysis menjadi pertimbangan utama setelah mereka menyelesaikan pendidikan. Mencari pekerjaan yang layak menjadi tujuan selanjutnya agar tidak di cap sebagai orang gagal. Budaya yang masih menganggap pendidikan merupakan barang mewah menjadikan mereka yang berpendidikan harus susah payah membuktikan bahwa hasil belajarnya selama ini tak sia-sia karena sudah mengeluarkan uang banyak. Padahal data BPS pada Februari 2018 membuktikan bahwa terdapat 6,13% dari total sarjana, menganggur. Salah kaprahnya lagi, keberhasilan mereka yang berpendidikan hanya sebatas diukur dengan materi. Misalnya, seorang lulusan sarjana akan dipandang sukses ketika ia memperoleh pekerjaan yang layak dengan gaji tinggi.
Pendefinisian ulang tentang kesuksesan harus dilakukan, sukses harus didefinisikan secara luas tak hanya dari aspek materi tetapi juga merambah ke urusan sosial, spiritual, dan politik. Pendefinisian ulang ini dianggap perlu untuk menangkis anggapan-anggapan yang salah tentang kaum terdidik. Setelah anggapan itu mulai berubah kearah yang semestinya, maka faktor internal dari generasi muda juga perlu dibenahi. Berpendidikan bukan hanya mereka yang lulusan sekolah dan kampus formal, tetapi gelar sebagai manusia terdidik disematkan kepada mereka yang masih ingin terus belajar dan mengamalkan apa yang sudah dipelajari seluas-luasnya untuk kepentingan bersama.
Kemunduran bangsa ini justru dapat berasal dari kaum terdidik itu sendiri. Mengapa tidak, di sekolah-sekolah formal mulai pra sekolah, sekolah dasar, menengah, atas, bahkan sampai perguruan tinggi sekalipun siswa/mahasiswa sudah cenderung dididik untuk berkompetisi. Berlomba untuk sekedar mendapat ranking paling atas dan dianggap gagal oleh orang tuanya jika tidak mampu masuk 10 besar. Ketika pelajar sudah di ajarkan untuk berkompetisi, maka wajar setelah di masyarakat, ia justru menjadi manusia super peduli dengan dirinya sendiri. Mereka akan bangga ketika mampu tampil paling “nyentrik” dibanding yang lain. Berusaha menang dengan mengalahkan, menjadi pandai kemudian membodohi, dan bergaya modern sampai tak kenal asal. Pendidikan semacam ini juga mengarah pada hilangnya budaya gotong royong. Kaum terdidik lebih bangga ketika hanya namanya yang dielukan sementara yang lain direndahkan.
Tak sampai disitu, realitas yang sudah dijelaskan diatas kemudian diperparah dengan fakta bahwa saat ini sedang terjadi apa yang disebut revolusi industri 4.0. Ditengah arus perubahan ini, seolah kaum terdidik tak bergeming. Mereka (baca:kaum terdidik) bahkan tetap saja melakukan apapun selayaknya bumi yang saat ini kami tempati merupakan tempat yang statis, tanpa perubahan disana-sini. Mereka tak sadar betapa dinamisnya kehidupan yang justru mampu menenggelamkan bahkan memarjinalkan mereka yang dianggap tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.
Lonjakan perubahan yang dialami manusia saat ini menjadikan kita khususnya sebagai bangsa Indonesia harus mulai berbenah. Optimisme harus tetap menyala dalam setiap diri anak bangsa terutama insan terdidiknya. Dengan populasi lebih dari 262 juta jiwa menjadikan beberapa tahun kedepan Indonesia mengalami bonus demografi yang boleh jadi sebagai peluang kemajuan atau dapat juga menjadi bumerang. Bangsa besar seperti Indonesia kadang lupa diri, karena anak bangsa ini justru masih menganggap Bangsanya sendiri kerdil. Semoga hanya anggapan saja, yang fatal ketika memang generasi penerusnya “kerdil” atau “dikerdilkan”. Pricewaterhouse (PwC) pada tahun 2017 melakukan studi yang menempatkan Indonesia di urutan ke-4 di dunia sebagai negara yang memiliki potensi ekonomi luar biasa di tahun 2050. Sebelumnya, studi dari McKinsey Global Institute di tahun 2012 juga menempatkan Indonesia pada urutan ke-7 negara yang memiliki potensi ekonomi luar biasa ditahun 2030 kelak. Ini momentum perubahan bagi bangsa yang memiliki umur 73 tahun ini. Jika bangsa ini tidak berbenah dari sekarang, lantas masih optimiskah kita akan keadaan Indonesia di 5, 10, atau 20 tahun kedepan? Jangan sampai jadi penonton di rumah sendiri. Tugas berat membenahi itu kemudian juga dialamatkan kepada mereka yang terdidik. Akibatnya, mereka yang terdidik berada di area tradeoff antara pencapaian pribadi dan bersama.
Urgensi peran kaum terdidik dalam arah perubahan Indonesia tentu menjadikannya untuk selalu mengembangkan diri dan beradaptasi dengan perubahan. Beberapa kecakapan yang harus dimiliki generasi terdidik Indonesia dalam momentum revolusi industri, diantaranya adalah Pertama keterampilan sosial. Artinya, kepekaan sosial perlu ditingkatkan. Sehingga perubahan sosial dapat terwujud. Mustahil jika insan terdidiknya saja apatis terhadap kehidupan sosial akan mampu merubah bangsa ini kearah yang lebih baik. Kedua, kecakapan berinteraksi dengan berbagai budaya. Ditengah arus globalisasi saat ini, tentu kita sebenarnya tidak hanya menjadi warga di negara tertentu tetapi sudah menjadi bagian dari warga dunia. Oleh karena itu, memahami dan menghormati berbagai budaya sangat diperlukan. Agar tidak ada lagi kasus-kasus SARA yang memecah persatuan dan kesatuan. Ketiga, kecakapan literasi. Literasi diartikan secara luas, bukan hanya membaca dan menulis saja, tetapi mengimplementasikan apa yang dipelajari, dibaca, dan ditulis atau dalam arti memaknai apa yang didapat. Literasi di era revolusi industri juga mengarah pada literasi tentang big data, coding, humanity, dan cyber security. Untuk itu literasi generai muda saat ini harusnya sudah bukan seputar peningkatan minat baca dan tulis tapi sudah jauh melampaui itu. Keempat, pembelajaran sepanjang hayat. Jika seorang mahasiswa menganggap gelar merupakan akhir dari proses belajar, maka bersiaplah menjadi generasi yang hanya baik dari segi nama (karena gelar) tapi minim kualitas dan kebermanfaatan. Pembelajaran harusnya dilakukan sepanjang hayat. Seperti apa yang dikatakan HAMKA bahwa ““Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka”. Tentu tak hanya kebahagiaan pribadi, tetapi kebahagiaan raya seisi alam semesta ini.

 

#

Comments are closed