oleh faisal riza
Konsekuensi dari selera rakyat banyak yang mesti di penuhi, seperti menjejalkan makanan yang paling di maui orang. Kreatornya semacam koki saja, yang kurang memikirkan aspek lain kecuali nilai komoditas. Beberapa rekan dalam diskusi swasta warung kopi sambil ngunyah pisang goreng nyerocos perihal membuat sesuatu yang menghibur itu harus ringan, jika ringan jenis karya apapun akan mudah dan ringan di angkatnya.
Orientasi sebuah jenis hiburan di era milenial seperti sekarang ini, di pungkiri atau tidak arahnya hanya menyoal pada banyak atau tidaknya viewer dan subcribe. Sama seperti jaman tape recorder dulu, meski jelas-jelas berbeda sistemnya. Dan di jaman serba pragmatis ini seperti semacam hipokrisi saja jika kita tidak mahfum. Konteks disini bukan pada soal kemurnian proses cipta karsa atau pada tanggung jawab (‘kultural edukatif’) mendidik selera rakyat, melainkan nilai komoditas semata.
Kurang lebih 300 juta viewer dan 2 juta subcribe, cukup membuat Metalica, Bon Jovi, Natalie Imbruglia dan Afgan geleng-geleng kepala. Mengalahkan ekspresi tebar pesona tak hanya lewat lirik puitis dan notasi yang lumayan pantas mendapat label musisi, tetapi juga sensualitas karya visual yang melekat pada lagunya. Tentu bukan hal yang menggelinding mudah begitu saja, pastilah melalui proses yang panjang dan berujung pada keberuntungan, meskipun karya berikutnya tak semakmur sebelum dan sesudahnya.
Tantangan kritisnya adalah bagaimana caranya supaya hiburan tersebut merangsang viewer tergoda untuk melihat lagi dan lagi, sambil bersenandung – “lagi pingin di manja.” Para peserta diskusi swasta warung kopi yang notabene sebagian dari mereka musisi berkelas yang tidak pernah puas memainkan tiga jurus cord C minor, A minor, d minor ke C lagi itu sulit membayangkan mencipta lagu sederhana, menjual dan ringan dijinjing. Meski toh akhirnya mereka mau tidak mau angkat topi mengapresiasi (komoditas hiburan).
Comments are closed