Culture Everyday oleh faisal Riza
Pihak-pihak resmi di kota kabupaten paling ujung timur pulau jawa, sejak beberapa tahun terakhir sibuk menjajagi dan coba mematangkan konsep pembangunan seni dan budaya dalam rangka ‘kultural edukatif’ di tujukan bagi kalangan pelajar yang notabene kalangan generasi muda. Paralel dengan itu harapannya tentu tak sekedar memfasilitasi dan memberi ruang, tetapi juga muncul usaha penelitian yang dapat mengidentifikasi daya apresiasi pelajar terhadap bidang-bidang seni budaya dan olah raga.
Dua sektor itu tampak menggeliat salah satunya dengan di bukanya ruang publik – taman blambangan yang tidak hanya berfungsi sebagai taman kota atau alun-alun yang sejak dahulu kala hanya di fungsikan sebagai tempat upacara, kini lazim selain untuk kegiatan kesenian juga berfungsi seperti gelanggang remaja.
Tak di pungkiri jika seni budaya di pandang sebagai modus yang cukup efektif memberikan pendekatan atau metodologi ke arah yang ingin di capai oleh program pembinaan dan pengembangan generasi muda. Banyuwangi dalam hal ini tidak di ragukan lagi potensi pariwisata dan tentu saja kesenian tradisionalnya. Kota sewu gandrung itu berusaha menjawab, seberapa jauh kegairahan seni budaya itu telah merata tumbuh di kalangan anak-anak muda, dengan harapan dapat mendorong potensi tersebut berkembang lebih maju.
Usaha-usaha tersebut di latar belakangi oleh semacam kecemasan budaya atas gejala-gejala yang makin tajam pada pertumbuhan kehidupan generasi muda. Secara makro kegelisahan itu bisa dilihat pada keseluruhan sosok kultural anak-anak muda sekarang. Orientasi mereka, pilihan selera mereka, segala yang lazim di sebut ‘kenakalan remaja’ di era milenial, plus berbagai dugaan adanya krisis idealisme, krisis nasionalisme atau krisis identitas, seharusnya menjadi renungan kita bersama.
Contoh sederhana kalau ada acara di gedung pertunjukan, begitu ada angklung atau gamelan berbunyi anak-anak itu cenderung gelisah, tetapi ketika pemain band baru menyetel-nyetel gitarnya saja mereka sudah memberi aplaus. Anak-anak itu mewarisi buah dari keterlambatan budaya, lalu kemudian dengan tegang kita tuding muka anak-anak itu: Kalian telah kehilangan orientasi! Kalian tidak menghargai warisan leluhur! Nasionalisme kalian tipis! Kalian nakal-nakal! Kalian mengalami krisis identitas!
Tuduhan mereka ‘pemalas’ dan tidak kreatif bukankah lahir dari ketidakmampuan kita menelurkan generasi yang rajin dan kreatif. Kita bawa mereka jadi ‘modern’, tapi ternyata kita belum mampu menampung dinamika kejiwaan anak-anak itu, dan juga kita belum mampu memberi peluang bagi irama dan gairah api baru bagi jiwa mereka.
Infiltrasi budaya asing itu bukan baru kemarin berlangsung. Katakanlah kita tidak berani mengatakan bahwa kita kurang siap tatkala kota kita tercinta ini ‘dipaksa’ mendunia, dan tiba-tiba nampak bahwa kita belum memiliki alternatif sistem yang jelas tentang program pembangunan kebudayaan secara menyeluruh dan terpadu, kecuali pembangunan sektoral dan prioritas-prioritas.
Jangan hanya karena culture everyday baru sebatas kewajiban yang harus di penuhi dan belum berangkat dari kesadaran akan pentingnya pendidikan ‘karakter’ berbasis seni dan budaya, lalu kemudian lembaga pendidikan setengah-setengah melakukan pembinaan secara berkelanjutan. Hal ini tampak dari kuantitas dan kualitas pertunjukan kesenian yang rutin di gelar tersebut belum mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat secara umum.
Kalo culture everyday – pagelaran seni pelajar, masih lengang alias yang nonton hanya wali murid, guru, teman dan beberapa pasangan yang mencari kegelapan remang-remang duduk jauh di belakang menghadap ke arah panggung namun sebenarnya pikiran dan imajinasi mereka sedang berada di tempat lain itu bukan berarti muspro sebagai modus.
Optimismenya adalah anggaplah kelengangan sebagai musik intro sebelum akhirnya tiba pada inter load dari pentas yang kita ‘idamkan’, asal kontinuitas rangsangan tak terputus, tak lelah menghadirkan tantangan terus menerus pada anak-anak kita. Dan sekolah sebagai tempat ‘menemukan kemampuan’, sejatinya seni jangan hanya di pandang sebagai hiburan dan ajang kompetisi semata, tetapi seni sebagai bagian dari kesimbangan kecerdasan anak.
#Blambangan, 28 Oktober 2018
Comments are closed