Pada pertengahan 2014, bulan puasa tepatnya. Ada pesan masuk di gawai saya dari seseorang yang mengaku salah satu relawan gerakan Turun Tangan Banyuwangi mengundang untuk bertemu. Saya yang masa-masa itu masih aktif di salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus memang mudah tertarik dengan komunitas baru untuk menambah wawasan. Layaknya aktifis mahasiswa, aktifitasnya tak jauh-jauh dari ruang gerakan dan diskusi. Menjadi generasi yang kritis pada kebijakan pemerintah. Saking terlalu kritisnya, jika mengingat itu saya merasa bukan menjadi aktifis tapi jadi tukang nyinyir.
Setelah sepakat akan bertemu pada acara buka bersama di pendopo kabupaten, sayapun menepati janji menemuinya.
Pertemuan pertama itu berlanjut, saya kemudian di kenalkan dengan beberapa kawannya di gerakan turun tangan yang ternyata sama-sama alumni kampus di kota tetangga. Beberapa kali bertemu seperti biasa, suara-suara nyinyir selalu berapi-api saya sampaikan. Dia dan kawannya yang baru turun gunung benar-benar buta tentang kondisi gerakan pemuda di Banyuwangi. Hingga saat saya berbusa-busa membahas busuknya kebijakan pemerintah, mereka berdua hanya melongo mendengarkan sambil saling melirik. Entah apa yang mereka berdua pikirkan.
Pada pertemuan entah yang keberapa, mereka berdua menyampaikan sebuah gagasan pada saya. Ingin membentuk sebuah komunitas di Banyuwangi. Komunitas yang beda dengan yang lain. Dan yang terpenting, komunitas ini akan menebarkan virus optimis dan bahagia pada masyarakat dan khususnya generasi muda.
Saya langsung tertarik. Kenapa? Karena tawaran yang disampaikan belum pernah saya dengar. Beberapa komunitas yang saya ikuti memiliki tujuan yang tak jauh dari hal-hal yang berbau politis. Mensejahterakan, masyarakat adil, kesetaraan atau tujuan-tujuan lain yang ujung-ujungnya tetap saja dibenturkan pada kebijakan pemerintah.
Tapi dua perempuan berbadan kecil ini (yang sampai sekarang tetap kecil ) justru menawarkan tujuan lain yang bersifat abstrak.
Optimis dan bahagia.
Bagaimana bergeraknya? Apa cuma ngelawak saja kegiatannya? Bagaimana mengukur rasa optimis dan bahagia itu?
Obrolan kami berlanjut pada menentukan sebuah gerakan. Mereka kemudian mengusulkan gerakan dimulai dari rumah masing-masing. Dari sudut ruang di rumah masing-masing.
Nah, sebuah komunitas yang ingin menebarkan virus optimis dan bahagia dimulai dari rumah masing-masing??
Makin bingung saya…
Saya ikuti saja. Apa yang ingin mereka berdua sampaikan.
Mereka ingin bergerak di dunia pendidikan melalui rumah baca. Yang saya pahami saat itu adalah mendirikan perpustakaan pribadi dirumah. Kebetulan sekali, memiliki perpustakaan pribadi dirumah adalah salah satu mimpi saya sejak kecil. Tapi pemahaman saya ternyata salah.
Rumah baca yang mereka maksud bukanlah sebatas ruang yang tersedia rak dan penuh buku. Mimpi mereka adalah rumah baca sebagai pusat belajar, bermain dan membangun mimpi anak-anak lingkungan sekitar.
Menebar virus optimis dan bahagia dimulai dari rumah masing-masing. Saya paham dan langsung menyatakan siap untuk bergabung.
Pada 19 Oktober 2014, para relawan Turun Tangan yang telah beberapa kali bertemu tanpa saya tahu ternyata telah bersepakat untuk bertemu dan membahas secara serius ide yang telah mereka sampaikan pada saya. Dan hari itu, atas kesepakatan bersama lahirlah sebuah komunitas yang bergerak di bidang literasi bernama Rumah Literasi Banyuwangi.
Hari ini Rumah Literasi Banyuwangi genap berusia 4 tahun. Usia yang masih balita. Masih sangat muda. Namun perjalanan kami sungguh luar biasa.
Memulai gerakan dari rumah masing-masing relawan, dalam satu tahun lebih dari 30 rumah baca telah berdiri.
Kunjungan ke sekolah yang awalnya kami rencanakan hanya setahun sekali setiap 10 November ternyata banyak sekolah yang mendaftarkan diri minta untuk di kunjungi. Maka gerakan literasi dalam rumah baca meluas jangkauannya pada gerakan literasi di sekolah. Hal ini juga bersamaan dengan kebijakan kementerian pendidikan pusat berupa gerakan literasi di sekolah.
Tak ada perjalanan yang bebas dari kerikil maupun jalan yang berlubang-lubang. Begitupun perjalanan kami.
Semakin banyak rumah baca berdiri, maka kami sebagai founder Rumah Literasi Banyuwangi juga turut memikirkan ketersediaan buku yang layak baca untuk rumah baca-rumah baca yang baru berdiri. Kami mulai berjejaring dengan komunitas non profit maupun perusahaan besar seperti Gramedia. Bukan hanya melalui permohonan resmi pada lembaga atau perusahaan, donasi dari perseorangan juga kami buka. Setelah terkumpul banyak, kami sortir dan kami bagikan secara merata.
Kampanye gerakan literasi kemudian tidak hanya melalui buku, kami mengembangkan pola kampanye literasi melalui seni, pertunjukan ataupun seminar. Musik, puisi, pantomim, drama bahkan film pendek.
Tangan Tuhan benar-benar bergerak penuh memudahkan jalan kami untuk terus bergerak menebar virus optimis dan bahagia.
Saat kami punya mimpi tapi belum memiliki anak tangga untuk meraih mimpi itu, maka kami siapkan saja diri kami dengan terus bergerak dan berbagi. Bagi kami, Tuhan Tahu tapi Ia masih menunggu. Menunggu kami siap ketika sang guru datang hendak menyampaikan ilmu, menunggu kami siap untuk berbagi saat melimpah kebaikan dari Tuhan atas kami.
Yang abadi di dunia ini adalah perubahan.
Kalimat di atas sudah tak asing lagi kita dengar.
Ya, sebuah perubahan.
Begitupun juga pada komunitas Rumah Literasi Banyuwangi. Saat semakin luasnya wilayah jangkauan dan jejaring, maka banyak hal juga kemudian yang harus disesuaikan dengan kondisi internal. Salah satunya adalah bentuk legalitas sebuah komunitas. Maka kemudian muncullah nama Rumah Literasi Indonesia sebagai bentuk yayasan legal yang mewadahi Rumah Literasi Banyuwangi beserta seluruh jejaring rumahbaca-rumahbaca yang telah terbentuk.
Apakah kemudian ruh dari gerakan kami berubah? Tentu saja tidak. Sejak awal gerakan kami adalah sebuah gerakan pemantik. Yang memantik nyala api semangat untuk berbagi.
Pada pertengahan 2017, saat Rumah Literasi Banyuwangi hampir berusia 3 tahun. Saya harus keluar dari lingkaran. Dan sejak saat itulah, saya benar-benar merasakan bahwa memulai sebuah niat baik itu berat. Apalagi ketika sendiri.
Lebih dari satu tahun ini saya kemudian baru mengerti, bahwa ternyata dibutuhkan sebuah keberanian untuk memulai. Dan dibutuhkan lebih banyak hal lagi untuk mempertahankan.
Apa saja?
Komitmen, kesabaran dan tak pernah lelah untuk berinovasi. Dan lebih dari satu tahun ini, bahkan keberanian untuk memulai saja belum genap saya kumpulkan.
Maka saya sangat bersyukur telah dipertemukan oleh kalian yang disebut relawan. Bergerak dengan nol rupiah. Dan tak pernah lelah menebar virus optimis dan bahagia, yang terus terbawa hingga ke tanah Borneo ini.
Benar adanya bahwa nilai sebuah kehadiran adalah bentuk donasi terbesar yang kita punya sebagai relawan. Tak peduli siapa yang punya ide dan dana, tapi manusia terpilihlah yang akan hadir untuk membersamai sebuah gerakan.
Bagi kami, rumah ini bukanlah milik kami para founder, donatur ataupun sang direktur. Rumah ini milik siapapun yang punya mimpi untuk terus bergerak di dunia literasi. Siapapun kamu. Kamu berhak atas rumah ini.
Maka hadirlah dirumah ini, bersama-sama mewujudkan mimpi. Mengabdi pada negeri.
Selamat ulang tahun relawan literasi…
Selamat ulang tahun Rumah Literasi…
Mari rayakan bahagia, dengan terus berbagi virus optimis dan bahagia.
Salam Literasi
Pantang Tanya Sebelum Baca
Kutai Kartanegara, 19 Oktober 2018
Laili Qomariyah
Comments are closed