Oleh Faizal Riza

Begitu banyak cerita pada sore yang sunyi. Iklima enggan beranjak dari ranjang kayu yang kokoh, ranjang tempat Iklima menelungkupkan wajah dan tubuhnya saat menerjang rindu, ranjang tempat Iklima terlelap pada mimpi, pada bunga melati yang tersebar layu di atas sprei bermotif daun pakis, pada sanggul yang menempel kendor di kepala bagian belakang setelah seharian lelah menggelar kegiatan peringatan hari Kartini.

Hari ini pengumuman memberitahukan pemadaman bergilir. Aliran listrik akan terputus selama tiga jam, mulai pukul tujuh malam. “Kita dapat menyalakan lilin,” usul Mirzam sambil memungut sanggul Iklima yang tergolek begitu saja di ranjang “Tolong lepaskan jepit bagian belakang rambutku,” pinta Iklima. Mirzam segera melepas jepit rambut yang tergelung rapi pada tengkuk perempuan yang telah lima tahun ia nikahi. Tanpa di minta kembali Mirzam segera membungkuk melepaskan sepatu njinjit dari tungkai kaki istrinya dengan lembut. “Aku mau mandi sebelum lampu padam,” tukas Iklima sambil memegang pundak Mirzam. “Kamu terlalu lelah Iklima,” Mirzam berujar dengan nada sedikit protes. Iklima hanya diam sambil memindahkan tas dan sepatu ke sisi lemari pakaian dan berlalu menuju kamar mandi.

Sementara Iklima mandi, Mirzam pergi ke kamar mandi depan yang terletak persis di belakang ruang tamu dan menemukan sebuah sikat gigi baru dalam kotaknya di bawah wastafel. Bulu sikat murahan dan keras itu melukai gusinya, perangkat sikat gigi itu adalah salah satu dari beberapa benda yang di letakkan ke dalam sebuah keranjang logam. Iklima membelinya sekaligus ketika di obral, untuk berjaga jika tiba-tiba ada tamu yang menginap.

Iklima adalah tipe perempuan yang selalu mempersiapkan diri untuk hal-hal mendadak atau pun di rencanakan. Jika ia menemukan rok atau kemeja yang di sukainya, maka ia akan membelinya meski tanpa rencana. Iklima menyimpan bonus dari pekerjaannya dalam rekening bank yang terpisah atas namanya. Hal ini agar tidak mengganggu uang belanja bulanannya. Mirzam senang karena Iklima berbeda. Kapasitas Iklima untuk berpikir maju mencengangkan Mirzam sejak pertama kali bertemu dalam diskusi-diskusi kecil yang diselenggarakan kelompok mahasiswa.

Rambut Iklima terbungkus dalam handuk putih tebal. Ia melepaskan handuk dan meletakkannya di atas sandaran kursi, membiarkan rambutnya yang basah dan hitam jatuh melewati punggungnya. Ketika ia berjalan menuju cermin, ia menguraikan beberapa rambutnya yang kusut dengan jari-jemarinya. Ia mengenakan celana olah raga yang bersih dan t-shirt. Perutnya rata, pinggang langsingnya anggun, terletak di atas pinggulnya yang lebar. Tali celana olah raganya terikat dalam sebuah simpul yang tidak ketat.

Malam ini, tanpa penerangan lampu mereka berdua terpaksa makan malam bersama di teras rumah mereka yang asri. Hampir satu tahun mereka melayani diri mereka sendiri dengan makanan dari kompor. Mirzam sering membawa piringnya ke kamar kerjanya, membiarkan makanan menjadi dingin sebelum menyuap ke mulutnya tanpa jeda. Sementara itu Iklima membawa piringnya ke meja makan yang kosong dan membuka laptop atau mengoreksi arsip dan catatan dengan segudang pensil warna di tangannya.

Pada waktu yang lain di malam hari Mirzam menghampirinya, meletakkan kedua tangannya diatas bahu Iklima dan memandang pijar biru layar laptop. “Jangan bekerja terlalu keras!” katanya setelah satu menit lebih, lalu pergi ke tempat tidur. Ada satu kali di siang hari Iklima mencarinya, sesuatu yang tak dipaksakan, Mirzam tersipu melihat sekeliling tembok kamar, penuh dengan dekorasi fantasi tentang anak-anak dan keranjang bayi.

Mirzam kembali ke dapur dan mulai membuka laci-laci. Ia mencoba menemukan sebatang lilin di antara gunting, alat pengocok telor dan kuas pemoles mentega. Mirzam tak menemukan sebatang lilin pun. Perasaan aneh menghantamnya karena tak ada lilin yang sesungguhnya dalam rumah ini. Mirzam teringat tentang makan malam pertama mereka, ketika mereka sangat bergairah untuk menikah, tinggal bersama dalam rumah yang sama, bahwa mereka hanya akan saling merengkuh satu sama lainnya, bergairah untuk bercinta daripada makan.

Lilin-lilin ulang tahun itu telah habis terbakar. Mirzam dengan sinar bulan memperhatikan wajah istrinya. Kecantikan Iklima sungguh membuatnya meluap. Yang membedakan hanya pada kosmetik yang dulu tampak berlebihan, sekarang menjadi mutlak bukan untuk mempercantik dirinya, tapi untuk memperhalus bagian tertentu dari dirinya dengan cara yang ia ketahui. Mirzam bertanya-tanya, apa yang akan di katakan Iklima kepadanya dalam gelap.

Mereka duduk bersama hingga pukul sepuluh saat lampu menyala. Sesuatu telah terjadi ketika rumah gelap. Mereka dapat bercerita satu sama lainnya. Malam ketika setelah makan malam, mereka duduk bersama di atas sofa, dan dalam gelap Mirzam memberanikan diri mencium kening dan bibir Iklima dengan kikuk. Setelah sekian lama mereka tidur dalam pIkiran dan kemelut bahwa rumah dalam kehidupan cinta mereka mulai redup. Masih jelas dalam ingatan mereka, merasakan bersama-sama langkah terakhir kaki mereka sebelum Mirzam menarik tangan Iklima dan bercinta dengan kenekatan yang telah mereka lupakan. Iklima menangis bahagia tanpa suara dan membisikkan nama Mirzam.

“Mungkin kita biarkan saja lampu ini padam, meski telah lewat tiga jam agar kita sama-sama mengakui dengan jujur bahwa usia pernikahan kita masih terlalu dini mengatakan, bahwa kita telah kehilangan kepercayaan pada rumah yang pernah kita impikan bersama.” Sekarang giliran Iklima bicara. Ada sesuatu yang membuatnya bersumpah untuk tidak pernah mengatakan kepada Mirzam, dan selama hampir dua tahun ia telah melakukan semampunya untuk menahan hal itu dari pikirannya.

“Kau boleh menyalakan lampu jika mau, bukankan ini tepat pukul sepuluh, saatnya lampu menyala.” Iklima memberanikan diri melihat wajah suaminya. Namun Mirzam menolak dengan alasan, “Aku tak ingin melihat wajahmu saat mengatakannya.” Pada usianya yang ke tiga puluh empat tahun, Iklima terlalu tua untuk di sebut mahasiswa. Setelah perusahaan tempatnya bekerja memberikan beasiswa pasca sarjana karena kecemerlangan Iklima dalam karir. Mirzam juga tak memungkiri pada saat Iklima merobek foto wanita dalam tas kerjanya. Anehnya kejadian itu tak menyulut pertengkaran besar, meski ia berusaha menjelaskannya.

Iklima memilih diam dengan caranya. Memutuskan bekerja hanya akan menunda kehamilannya. Setelah dokter dengan tegas mengatakan kandungan Iklima terlalu lemah, setelah kesekian kalinya keterlambatan haid Iklima bukan lagi kejutan. Hanya perdebatan-perdebatan kecil yang membuat rumah mereka hidup sebagai sebuah rumah tangga.

Dua minggu sekali Iklima duduk sedikit maju dari kursinya, kedua kakinya lurus ke depan bertumpu pada kedua lutut Mirzam. Kuku-kuku pada jari kaki Iklima terpotong dengan rapi. Rutinitas pagi, menyisir rambut Iklima dan mengikatnya yang tak pernah Mirzam lewatkan, sebelum mereka sama-sama pergi bekerja. Meski semenjak bekerja Iklima tak lagi rutin menyeduh kopi dan memasak untuknya.

Mirzam berdiri dan mulai menyalakan lampu, lalu bergegas ke meja makan, menumpuk piring dan membawanya ke bak cuci. Mirzam urung menyalakan kran, karena lampu tiba-tiba padam kembali. “Untuk malam ini aku ingin tetap seperti ini, biarkan lampu padam!” Iklima berujar sambil memeluk Mirzam dari belakang, dan mereka menangis bersama-sama.

#15 Juni 2018

#Minala’idzin Walfa’idzin
Mohon maaf lahir dan bathin

#

Comments are closed