Salah satu tantangan di daerah yang aksesnya lumayan jauh dari perkotaan adalah tentang ketersediaan sumber belajar berupa buku. Saat saya survey di banyak lokasi khususnya di desa, tragedi “Nol Baca” memang masih cukup banyak.

Puluhan anak muda di desa nyaris tak satupun menyelesaikan 1 buku bacaan selama setahun. Padahal salah satu syarat penting agar wawasan bisa tumbuh adalah lewat membaca.

Survey tim riset Rumah Literasi Indonesia di tingkat SMA, SMK dan MA dengan metode “Random Sampling” di 100 siswa juga tak kalah menarik untuk dieksplorasi. Salah satu pertanyaannya yaitu “Apakah selama kalian sekolah di tempat ini, sudah menemukan bakatnya?”. Hasilnya 92 dari 100 sampel yang kami survey menjawab “Tidak Tahu”. Termasuk hanya 3% dari responden yang datang ke perpustakaan di luar jadwal reguler pelajaran.

Keterbatasan buku bacaan memang menjadi tantangan tersendiri, tapi hal ini bukan menjadi sumber masalah utama. Sebab, ada banyak faktor untuk membuka pintu peluang sehingga di kampung-kampung anak-anak mudanya mulai melek literasi. Sempat kami temukan justru ada seklah negeri di salah satu desa yang letakya sekitar 60 km dari pusat kota, belum memiliki perpustakaan yang layak sebagai pusat informasi peserta didik.

Disisi lain, ketersediaan jaringan internet hingga ke pelosok-pelosok desa memang menjadi salah satu langkah jitu untuk mendekatkan sumber belajar yang begiitu luas. Namun, keberadaan internet tak menjadi jaminan sebuah desa disebut “Kampung Pintar”. Kenapa? Tanpa ada pengelolaan dan pengawasan yang baik untuk apa internet digunakan, maka semua bisa menjadi sumber masalah baru.

Berapa banyak orangtua saat ini mengeluh karena anaknya saat ini mulai kecanduan gawai pintar alias gadget? Berapa banyak pejabat di desa yang pusing tujuh keliling melihat anak-anak pulang sekolah hanya nongkrong main game online tanpa ada batas waktu? Seberapa besar sebenarnya pengaruh internet terhadap pendidikan karakter bagi anak-anak di kampung?

Sudah seharusnya kita mesti punya langkah strategis dan lebih serius ketika melihat kondisi sosial hari ini. Tentu dengan cara memikirkan bersama-sama, melalui kolaborasi membangun ekosistem belajar yang lebih bermakna bagi anak-anak.

#

Comments are closed